Terlahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soeryaningrat. Ia
berasal dari lingkungan keluarga kraton Yogyakarta. Raden Mas Soewardi
Soeryaningrat, saat genap berusia 40 tahun menurut hitungan Tahun Caka,
berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara. Semenjak saat itu, ia tidak lagi
menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia
dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun hatinya.
Perjalanan hidupnya benar-benar diwarnai perjuangan dan
pengabdian demi kepentingan bangsanya. Ia menamatkan Sekolah Dasar di ELS
(Sekolah Dasar Belanda) Kemudian sempat melanjut ke STOVIA (Sekolah Dokter
Bumiputera), tapi tidak sampai tamat karena sakit. Kemudian ia bekerja sebagai
wartawan di beberapa surat kabar antara lain Sedyotomo, Midden Java, De
Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer dan Poesara. Pada
masanya, ia tergolong penulis handal. Tulisan-tulisannya sangat komunikatif,
tajam dan patriotik sehingga mampu membangkitkan semangat antikolonial bagi
pembacanya.
Kemudian, bersama Douwes Dekker (Dr. Danudirdja Setyabudhi)
dan dr. Cipto Mangoenkoesoemo, ia mendirikan Indische Partij (partai politik
pertama yang beraliran nasionalisme Indonesia) pada tanggal 25 Desember 1912
yang bertujuan mencapai Indonesia merdeka.
Kemudian setelah ditolaknya pendaftaran status badan hukum
Indische Partij ia pun ikut membentuk Komite Bumipoetra pada November 1913.
Komite itu sekaligus sebagai komite tandingan dari Komite Perayaan Seratus
Tahun Kemerdekaan Bangsa Belanda. Komite Boemipoetra itu melancarkan kritik
terhadap Pemerintah Belanda yang bermaksud merayakan seratus tahun bebasnya
negeri Belanda dari penjajahan Prancis dengan menarik uang dari rakyat
jajahannya untuk membiayai pesta perayaan tersebut.
Sehubungan dengan rencana perayaan itu, ia pun mengkritik
lewat tulisan berjudul Als Ik Eens Nederlander Was (Seandainya Aku Seorang
Belanda) dan Een voor Allen maar Ook Allen voor Een (Satu untuk Semua, tetapi
Semua untuk Satu Juga). Tulisan Seandainya Aku Seorang Belanda yang dimuat
dalam surat kabar de Expres milik dr. Douwes Dekker itu antara lain berbunyi:
"Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan
menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang kita sendiri telah
merampas kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak
adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan
untuk dana perayaan itu.
Pikiran untuk menyelenggarakan perayaan itu saja sudah
menghina mereka dan sekarang kita garuk pula kantongnya. Ayo teruskan
penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda. Apa yang menyinggung
perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku terutama ialah kenyataan bahwa bangsa
inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu pekerjaan yang ia sendiri tidak ada
kepentingannya sedikitpun".
Akibat karangannya itu, pemerintah kolonial Belanda melalui
Gubernur Jendral Idenburg menjatuhkan hukuman tanpa proses pengadilan, berupa
hukuman internering (hukum buang) yaitu sebuah hukuman dengan menunjuk sebuah
tempat tinggal yang boleh bagi seseorang untuk bertempat tinggal. Ia pun
dihukum buang ke Pulau Bangka.
Douwes Dekker dan Cipto Mangoenkoesoemo merasakan rekan
seperjuangan diperlakukan tidak adil. Mereka pun menerbitkan tulisan yang
bernada membela Soewardi. Tetapi pihak Belanda menganggap tulisan itu menghasut
rakyat untuk memusuhi dan memberontak pada pemerinah kolonial. Akibatnya
keduanya juga terkena hukuman internering. Douwes Dekker dibuang di Kupang dan
Cipto Mangoenkoesoemo dibuang ke pulau Banda.
Namun mereka menghendaki dibuang ke Negeri Belanda karena
di sana mereka bisa memperlajari banyak hal dari pada didaerah terpencil.
Akhirnya mereka diijinkan ke Negeri Belanda sejak Agustus 1913 sebagai bagian
dari pelaksanaan hukuman.
Kesempatan itu dipergunakan untuk mendalami masalah
pendidikan dan pengajaran, sehingga Raden Mas Soewardi Soeryaningrat berhasil
memperoleh Europeesche Akte.
Kemudian ia kembali ke tanah air di tahun 1918. Di tanah
air ia mencurahkan perhatian di bidang pendidikan sebagai bagian dari alat
perjuangan meraih kemerdekaan.
Setelah pulang dari pengasingan, bersama rekan-rekan
seperjuangannya, ia pun mendirikan sebuah perguruan yang bercorak nasional,
Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa (Perguruan Nasional Tamansiswa) pada 3
Juli 1922. Perguruan ini sangat menekankan pendidikan rasa kebangsaan kepada
peserta didik agar mereka mencintai bangsa dan tanah air dan berjuang untuk
memperoleh kemerdekaan.
Tidak sedikit rintangan yang dihadapi dalam membina Taman
Siswa. Pemerintah kolonial Belanda berupaya merintanginya dengan mengeluarkan
Ordonansi Sekolah Liar pada 1 Oktober 1932. Tetapi dengan kegigihan
memperjuangkan haknya, sehingga ordonansi itu kemudian dicabut.
Di tengah keseriusannya mencurahkan perhatian dalam dunia
pendidikan di Tamansiswa, ia juga tetap rajin menulis. Namun tema tulisannya
beralih dari nuansa politik ke pendidikan dan kebudayaan berwawasan kebangsaan.
Tulisannya berjumlah ratusan buah. Melalui tulisan-tulisan itulah dia berhasil
meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional bagi bangsa Indonesia.
Sementara itu, pada zaman Pendudukan Jepang, kegiatan di
bidang politik dan pendidikan tetap dilanjutkan. Waktu Pemerintah Jepang
membentuk Pusat Tenaga Rakyat (Putera) dalam tahun 1943, Ki Hajar duduk sebagai
salah seorang pimpinan di samping Ir. Soekarno, Drs. Muhammad Hatta dan K.H.
Mas Mansur.
Setelah
zaman kemedekaan, Ki Hajar Dewantara pernah menjabat sebagai Menteri
Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama. Nama Ki Hadjar Dewantara
bukan saja diabadikan sebagai seorang tokoh dan pahlawan pendidikan (bapak
Pendidikan Nasional) yang tanggal kelahirannya 2 Mei dijadikan hari Pendidikan
Nasional, tetapi juga ditetapkan sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional melalui
surat keputusan Presiden RI No.305 Tahun 1959, tanggal 28 November 1959.
Penghargaan lain yang diterimanya adalah gelar Doctor Honoris Causa dari
Universitas Gajah Mada pada tahun 1957.
Dua tahun setelah mendapat gelar Doctor Honoris Causa itu,
ia meninggal dunia pada tanggal 28 April 1959 di Yogyakarta dan dimakamkan di
sana.
Kemudian oleh pihak penerus perguruan Taman Siswa,
didirikan Museum Dewantara Kirti Griya, Yogyakarta, untuk melestarikan
nilai-nilai semangat perjuangan Ki Hadjar Dewantara. Dalam museum ini terdapat
benda-benda atau karya-karya Ki Hadjar sebagai pendiri Tamansiswa dan kiprahnya
dalam kehidupan berbangsa. Koleksi museum yang berupa karya tulis atau konsep
dan risalah-risalah penting serta data surat-menyurat semasa hidup Ki Hadjar
sebagai jurnalis, pendidik, budayawan dan sebagai seorang seniman telah direkam
dalam mikrofilm dan dilaminasi atas bantuan Badan Arsip Nasional.
Bangsa ini perlu mewarisi buah pemikirannya tentang tujuan
pendidikan yaitu memajukan bangsa secara keseluruhan tanpa membeda-bedakan
agama, etnis, suku, budaya, adat, kebiasaan, status ekonomi, status sosial, dan
sebagainya, serta harus didasarkan kepada nilai-nilai kemerdekaan yang asasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar