Rabu, 02 Desember 2015

Bagian 1 Wina "99 Cahaya di Langit Eropa" (resume)



BAGIAN 1 WINA
Hari itu, media Maret 2008, adalah hari-hari-hari pertamaku menginjak bumi Erop. Aku mengikuti suamiku Rangga yang mendapatkan beasiswa studi doctoral di Wina, Austria.
Aku dating menyusul 4 bulan setelah suamiku menyelesaikan semua administrasi untuk bias mengundangku. Sebagai pendatang baru, aku bertekad untuk menghabiskan waktuku dengan berjalan-jalan mengelilingi kota Wina sambil menunggu panggilan kerja di kampus Rangga.
Pada Maret, seharusnya hawa sudah lebih menghangat. Seharusnya pegawai pertemanan mulai menanam bunga warna-warni di alun-alun dan di setiap sudut kota. Seharusnya burung=burung sudah berkicau menyambut matahari yang terlalu irit cahaya pada 6 bulan sebelumnya. Tetapi nyatanya itu tidak terjadi. Tuhan Yang Merajai perubahan alam membuat manusia kecele akan hitung-hitungan cuaca di Eropa. Hawa Maret kali itu dingin tak terkira menusuk tulang. Angin perubahan musim berhembus memperburuk keadaan. Burung-burung enggan bernyanyi karena tenggorokan mereka kering dan gatal.
Penghangat dibawah jok bu yang aku tumpangi tak kuasa menantang udara dingin kali itu. Aku terus berusaha menyusutkan badan didalam mantel musim dinginku. Mantel yang harusnya bias melindungiku dari hawa dingin. Toh aku tetap merinding kedinginan.
“ Itu karena suhu tubuh mu masih dalam penyesuaian, Hanum,” kata Fatma yang duduk disebelahku. Kuperkenalkan, Fatma Pasha, kawan seperjalananku ke sebuah tempat baru di Wina.
Fatma adalah kawan aruku dikelas bahasa Jerman disebuah kursus singkat yang diselenggarakan oleh pmerintah Austria. Didalam kelas, kami bertemu dengan para pendatang lain di Austria. Sebagian besar murid dikelas itu adalah para pendatang dari Eropa Tmur. Hanya aku dan Fatma Yang berwajah nonbule.
Meski fatma juga pemula dalam bahasa Jerman, aku bersandar padanya untuk urusan jalan-jalan kali ini. Peta Wina sudah lekat diingat karena lama dia jauh lebih lama tinggal di Wina untuk ikut suaminya. Lucunya, meski sudah 3 tahun tinggal di Austria, dia masih harus mengenyam kursus jerman level A1 sepertiku. Bagaimana mungkin?
Alasannya satu, dia tak punya kegiatan yang mendekatkannya pada komunikasi bahasa Jerman sehari-hari. Dia tak bekerja, dua juga tak bersekolah. “ karena ini, Hanum,” ucap Fatma sambil mengarahkan telunjuknya ke kepala.
“Mungkin…,” Fatma berhenti bicara seolah mencari ide di kepalanya. “Karena aku berhijab. Aku tak pernah mendapatkan balasan dari perusahaan tempat aku melayangkan lamaran pekerjaan. Jika harus bersekolah, aku tak mampu mengeluarkan biaya,” cuap Fatma lirih.
Itulah Fatma, potret seorang imigran Turki di Austria. Pada usia produktif 29 tahun, dia jatuh bangun mengirim puluhan surat lamaran pekerjan. Karena sehelai kain enutup tempurung kepala yang tampak dalam pas foto curriculum vitae-nya, dia tertolak untuk bekerja secara professional. Paling tidak, itulah pengakuan Fatma kepadaku.
Kami bercakap-cakap lama dalam bus. Sesekali Fatma mencoba mengalihkan pembicaraan dengan menunjukkan padaku panorama diluar jendela. Indah memang pemandangan kali itu. Kali pertama aku melihat gunungan tipis putih membubuh diatas daun-daun yang berusaha kembali bersemi. Putih sepeti bunga es dalam kulkas. Sebagian besar telah mengeras menjadi Kristal es. Setiap ban bus melindasnya, bunyi gemeretak pun berdecak-decak. Oh, iini yang dinamakan salju.
Salju kali itu adalah yang pertama kulihat di Eropa. Tapi salju ini bukanlah salju segar yang diluruhkan langit tadi malam. Salju ini salju terakhir yang masih berusaha bertahan ditengah asumsi musim semi yang akan segera tiba. Hamparan sisa-sisa salju yang berserakan didaun-daun ini hampir saja membuatku terbuai. Melupakan sebuah pertanyaan yang sempat hinggap dikepala tentang dilema yang dialami Fatma, sebelum akhirnya pertanyaan itu kembali berkelebat diotakku.
“Fatma, maaf jika aku menyinggungmu. Kenapa kau tak berfikir, mungkin mmm… kualifikasimu kurang sesuai, atau pengalaman kerjamu kurang sehingga perusahaan disini tidak menerimamu?”ucapku terbata-bata. Terbata-bata karena takut menyinggung perasaannya. Terbata-bata karena memang kemampuan bahasa jermanku masih berada didasar laut.
“Ah, tadinya kupikir juga demikian, Hanum. Sampai kuturunkan pilihanku. Katakana padaku, apakah profesionalitas dan kompetensi sangat dibutuhkan sekadar untuk menjadi porter dalam dapur?”
Aku terdiam. Portir didapur. Aku melihat diriku sendiri. Aku sendiri tak berjilbab. Bagaimanapun, aku akan berfikir berkali-kali untuk mengambil pekerjaan sehari-hari mengangkat-angkat barang berat, atau gampangnya menjadi buruh kasar perempuan. Namun untuk Fatma, meski dia telah rela menjadi buruh agar tetap bias bekerja, perusahaan-perusahaan di Austria tetap menolaknya.
Entah mengapa aku tertarik berdiskusi tentang isu jilbab dan pekerjaan ini dengn Fatma. Rasanya penasaran saja. Di Indonesia, perempuan berjilbab bias berkarier sampai puncak. Di Eropa? Apalagi di Austria? Bagi Fatma, meski mendapatkan izin bekerja dari pemerintah dan suaminya, tetap taka da artinya. Musykil perusahaan di Austria mau menerimanya. Dia harus mengubur dalam-dalam harapannya menjadi perempuan yang mengenal dunia kerja. Sekarang tekadnya hanya satu: menjadi perempuan solehah yang menjaga keluarga dan keharmonisan rumah tangga. Itu saja, katanya.
“Fatma, kuambil sisi baiknya. Jika kau bekerja, siapa yang akan mengurusnya?” tanganku menunjuk bocah perempuan yang tertidur lelap disebelahny, yang tak lain adalah Ayse, anak Fatma yang berusia 3 tahun. Fatma ternyesum sambil mengelus-elus rambut putri semawa wayangnya. Dia menark nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya. Aku tahu dia sedang berfikir bahwa perkataanku mungkin ada benarnya.
Perjalanan ke tempat baru di Austria ini adalah ide Fatma saat pertemuan hari pertama di kelas bahasa Jerman. Aku selalu yakin, berkenalan dengan orang baru itu harus dengan cara yang mengesankan. Begiku kalimat: “Hai namaku Hanum. Namamu siapa? Senang berkenalan denganmu” terdengar sangat membosankan. Kurang memberi impresi terhadap alon kawan.
Karena itu kusorongkan cokelat bergambar sapi terlilt lonceng kepada Fatma yang duduk di sebelahku, “Magst du Schoklade. Maukah kau cokelat ini?” tanyaku sambil mempraktikkan bahasa Jerman dasarku. Kubuka sedikit kemasan cokelat yang langung menyembulkan batang-batang cokelat dari balik lapisan dalamnya.
“Ah, Milka!” Fatma tampaknya kenal akrab dengan nama cokelat ini.
Ich mag Milka gem. Aber…danke, ich faste. Saya sangat suka cokelat Milka. Tapi… terimakasih, saya sedang berpuasa,: jawab Fatma santun.
Tadinya aku agak kecewa karena penawaranku ditolaknya. Namun aku senang, karena enolakannya didasarkan sebuah badah yang aku tahu benar maknanya. Sejurus kemudian, kututup lagi kemasan cokelt yang sudah terlanjur robek itu, lalu kujulurkan kembali kepada Fatma.
“Ambillah untuk berbuka puasa nanti. Kau berpuasa senin-kamis, ya?
Fatma terlihat begitu girag mendengar responsku yang oaham tentang puasa yang dilakoninya. Dengan bahasa Jerman seadanya, jadilah kami kawan dekat sejak itu. Fatma menjadi rahmat buatku. Rahmat pertemanan dari sebatang cokelat.
Setiap istirahat kelas yang berdurasi 15 menit, Fatma mengajakku shalat Zuhur berjamaah. Awalnya aku kebingungn, mana mungkin institusi sekuler semacam kursus bahasa ini menyediakan langgar atau mushala? Tidak mudah menemukan tempat ibadah shalat di Eropa. Namun Fatma panjang ajal. Dia menemukan sebuah tempat—walau kurang representative—yaitu ruang penitipan bayi dan anak para peserta kursus bahasa. Setiap kali kursus, kami balita yang tengah tergeletak tertidur pulas. Dengkuran dan dengusan lirih bayi mungil justru membuat shalat kami makin khusyuk.
Karena aku muslimah, Fatma merasa mempunyai saudara dekat dikelas tersebut. Karen itu juga dia merelakan waktu akhir pekannya untuk mengajakku berkeliling kota. Memamerkan kota Wina kepada pendatang baru, tepatnya.
“kau pernah melihat kecantikan kota Wina dari atas gunung, Hanum? Kalau belum, esok selesai kelas kau harus melihatnya!” itulah ajakan jalan-jalan Fatma pertama kali dikelas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar