BAGIAN 1 WINA
Hari
itu, media Maret 2008, adalah hari-hari-hari pertamaku menginjak bumi Erop. Aku
mengikuti suamiku Rangga yang mendapatkan beasiswa studi doctoral di Wina,
Austria.
Aku
dating menyusul 4 bulan setelah suamiku menyelesaikan semua administrasi untuk
bias mengundangku. Sebagai pendatang baru, aku bertekad untuk menghabiskan
waktuku dengan berjalan-jalan mengelilingi kota Wina sambil menunggu panggilan
kerja di kampus Rangga.
Pada
Maret, seharusnya hawa sudah lebih menghangat. Seharusnya pegawai pertemanan
mulai menanam bunga warna-warni di alun-alun dan di setiap sudut kota.
Seharusnya burung=burung sudah berkicau menyambut matahari yang terlalu irit
cahaya pada 6 bulan sebelumnya. Tetapi nyatanya itu tidak terjadi. Tuhan Yang
Merajai perubahan alam membuat manusia kecele akan hitung-hitungan cuaca di
Eropa. Hawa Maret kali itu dingin tak terkira menusuk tulang. Angin perubahan
musim berhembus memperburuk keadaan. Burung-burung enggan bernyanyi karena
tenggorokan mereka kering dan gatal.
Penghangat
dibawah jok bu yang aku tumpangi tak kuasa menantang udara dingin kali itu. Aku
terus berusaha menyusutkan badan didalam mantel musim dinginku. Mantel yang
harusnya bias melindungiku dari hawa dingin. Toh aku tetap merinding
kedinginan.
“
Itu karena suhu tubuh mu masih dalam penyesuaian, Hanum,” kata Fatma yang duduk
disebelahku. Kuperkenalkan, Fatma Pasha, kawan seperjalananku ke sebuah tempat
baru di Wina.
Fatma
adalah kawan aruku dikelas bahasa Jerman disebuah kursus singkat yang
diselenggarakan oleh pmerintah Austria. Didalam kelas, kami bertemu dengan para
pendatang lain di Austria. Sebagian besar murid dikelas itu adalah para
pendatang dari Eropa Tmur. Hanya aku dan Fatma Yang berwajah nonbule.
Meski
fatma juga pemula dalam bahasa Jerman, aku bersandar padanya untuk urusan
jalan-jalan kali ini. Peta Wina sudah lekat diingat karena lama dia jauh lebih
lama tinggal di Wina untuk ikut suaminya. Lucunya, meski sudah 3 tahun tinggal
di Austria, dia masih harus mengenyam kursus jerman level A1 sepertiku. Bagaimana mungkin?
Alasannya
satu, dia tak punya kegiatan yang mendekatkannya pada komunikasi bahasa Jerman
sehari-hari. Dia tak bekerja, dua juga tak bersekolah. “ karena ini, Hanum,”
ucap Fatma sambil mengarahkan telunjuknya ke kepala.
“Mungkin…,”
Fatma berhenti bicara seolah mencari ide di kepalanya. “Karena aku berhijab.
Aku tak pernah mendapatkan balasan dari perusahaan tempat aku melayangkan
lamaran pekerjaan. Jika harus bersekolah, aku tak mampu mengeluarkan biaya,”
cuap Fatma lirih.
Itulah
Fatma, potret seorang imigran Turki di Austria. Pada usia produktif 29 tahun,
dia jatuh bangun mengirim puluhan surat lamaran pekerjan. Karena sehelai kain
enutup tempurung kepala yang tampak dalam pas foto curriculum vitae-nya, dia
tertolak untuk bekerja secara professional. Paling tidak, itulah pengakuan
Fatma kepadaku.
Kami
bercakap-cakap lama dalam bus. Sesekali Fatma mencoba mengalihkan pembicaraan
dengan menunjukkan padaku panorama diluar jendela. Indah memang pemandangan
kali itu. Kali pertama aku melihat gunungan tipis putih membubuh diatas
daun-daun yang berusaha kembali bersemi. Putih sepeti bunga es dalam kulkas.
Sebagian besar telah mengeras menjadi Kristal es. Setiap ban bus melindasnya,
bunyi gemeretak pun berdecak-decak. Oh, iini
yang dinamakan salju.
Salju
kali itu adalah yang pertama kulihat di Eropa. Tapi salju ini bukanlah salju
segar yang diluruhkan langit tadi malam. Salju ini salju terakhir yang masih
berusaha bertahan ditengah asumsi musim semi yang akan segera tiba. Hamparan
sisa-sisa salju yang berserakan didaun-daun ini hampir saja membuatku terbuai.
Melupakan sebuah pertanyaan yang sempat hinggap dikepala tentang dilema yang
dialami Fatma, sebelum akhirnya pertanyaan itu kembali berkelebat diotakku.
“Fatma,
maaf jika aku menyinggungmu. Kenapa kau tak berfikir, mungkin mmm…
kualifikasimu kurang sesuai, atau pengalaman kerjamu kurang sehingga perusahaan
disini tidak menerimamu?”ucapku terbata-bata. Terbata-bata karena takut
menyinggung perasaannya. Terbata-bata karena memang kemampuan bahasa jermanku
masih berada didasar laut.
“Ah,
tadinya kupikir juga demikian, Hanum. Sampai kuturunkan pilihanku. Katakana
padaku, apakah profesionalitas dan kompetensi sangat dibutuhkan sekadar untuk
menjadi porter dalam dapur?”
Aku
terdiam. Portir didapur. Aku melihat
diriku sendiri. Aku sendiri tak berjilbab. Bagaimanapun, aku akan berfikir
berkali-kali untuk mengambil pekerjaan sehari-hari mengangkat-angkat barang
berat, atau gampangnya menjadi buruh kasar perempuan. Namun untuk Fatma, meski
dia telah rela menjadi buruh agar tetap bias bekerja, perusahaan-perusahaan di
Austria tetap menolaknya.
Entah
mengapa aku tertarik berdiskusi tentang isu jilbab dan pekerjaan ini dengn
Fatma. Rasanya penasaran saja. Di Indonesia, perempuan berjilbab bias berkarier
sampai puncak. Di Eropa? Apalagi di Austria? Bagi Fatma, meski mendapatkan izin
bekerja dari pemerintah dan suaminya, tetap taka da artinya. Musykil perusahaan
di Austria mau menerimanya. Dia harus mengubur dalam-dalam harapannya menjadi
perempuan yang mengenal dunia kerja. Sekarang tekadnya hanya satu: menjadi
perempuan solehah yang menjaga keluarga dan keharmonisan rumah tangga. Itu
saja, katanya.
“Fatma,
kuambil sisi baiknya. Jika kau bekerja, siapa yang akan mengurusnya?” tanganku
menunjuk bocah perempuan yang tertidur lelap disebelahny, yang tak lain adalah
Ayse, anak Fatma yang berusia 3 tahun. Fatma ternyesum sambil mengelus-elus
rambut putri semawa wayangnya. Dia menark nafas dalam-dalam lalu
menghembuskannya. Aku tahu dia sedang berfikir bahwa perkataanku mungkin ada
benarnya.
≈
Perjalanan ke tempat baru di Austria
ini adalah ide Fatma saat pertemuan hari pertama di kelas bahasa Jerman. Aku
selalu yakin, berkenalan dengan orang baru itu harus dengan cara yang
mengesankan. Begiku kalimat: “Hai namaku
Hanum. Namamu siapa? Senang berkenalan denganmu” terdengar sangat
membosankan. Kurang memberi impresi terhadap alon kawan.
Karena itu kusorongkan cokelat
bergambar sapi terlilt lonceng kepada Fatma yang duduk di sebelahku, “Magst du Schoklade. Maukah kau cokelat
ini?” tanyaku sambil mempraktikkan bahasa Jerman dasarku. Kubuka sedikit
kemasan cokelat yang langung menyembulkan batang-batang cokelat dari balik
lapisan dalamnya.
“Ah, Milka!” Fatma tampaknya kenal akrab dengan nama cokelat
ini.
“Ich
mag Milka gem. Aber…danke, ich faste. Saya sangat suka cokelat Milka. Tapi…
terimakasih, saya sedang berpuasa,: jawab Fatma santun.
Tadinya aku agak kecewa karena
penawaranku ditolaknya. Namun aku senang, karena enolakannya didasarkan sebuah
badah yang aku tahu benar maknanya. Sejurus kemudian, kututup lagi kemasan
cokelt yang sudah terlanjur robek itu, lalu kujulurkan kembali kepada Fatma.
“Ambillah untuk berbuka puasa nanti. Kau berpuasa
senin-kamis, ya?
Fatma terlihat begitu girag mendengar
responsku yang oaham tentang puasa yang dilakoninya. Dengan bahasa Jerman
seadanya, jadilah kami kawan dekat sejak itu. Fatma menjadi rahmat buatku.
Rahmat pertemanan dari sebatang cokelat.
Setiap istirahat kelas yang berdurasi
15 menit, Fatma mengajakku shalat Zuhur berjamaah. Awalnya aku kebingungn, mana
mungkin institusi sekuler semacam kursus bahasa ini menyediakan langgar atau
mushala? Tidak mudah menemukan tempat ibadah shalat di Eropa. Namun Fatma
panjang ajal. Dia menemukan sebuah tempat—walau kurang representative—yaitu
ruang penitipan bayi dan anak para peserta kursus bahasa. Setiap kali kursus,
kami balita yang tengah tergeletak tertidur pulas. Dengkuran dan dengusan lirih
bayi mungil justru membuat shalat kami makin khusyuk.
Karena aku muslimah, Fatma merasa
mempunyai saudara dekat dikelas tersebut. Karen itu juga dia merelakan waktu
akhir pekannya untuk mengajakku berkeliling kota. Memamerkan kota Wina kepada
pendatang baru, tepatnya.
“kau pernah melihat kecantikan kota
Wina dari atas gunung, Hanum? Kalau belum, esok selesai kelas kau harus melihatnya!”
itulah ajakan jalan-jalan Fatma pertama kali dikelas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar