Salah satu sistem yang mempengaruhi hukum Kesultanan
Yogyakarta adalah sistem hukum kewarisan Islam. Kesultanan Yogyakarta tidak
langsung menerapkan asas keislaman dalam kehidupan sehari-hari, bahkan untuk
syari’at sekalipun. Pelaksaan hukum kewarisan di lingkungan Kesultanan
Yogyakarta mengakomodasi khasanah lokal dan nilai-nilai kebudayaan Jawa. Hukum
waris Kesultanan Yogyakarta melahirkan pergumulan kuat dan waktu yang panjang
untuk menerapkan aturan hukum waris islam dan hukum waris adat Jawa sehingga
melahirkan titik singgung dalam pelaksanaan kewarisan. Titik singing tersebut
dalam terminology lain disebut konvergensi Hukum waris Islam dan hukum
kewarisan adat Jawa yang merupakan sistem hukum yang bijaksana dalam
pelaksanaan kewarisan di Kesultanan Yogyakara. Konsep konvergensi dua sistem
hukum kewarisan tersebut mempunyai karakteristik dalam pelaksanaan kewarisan di
Yogyakarta.
Unsur-unsur yang diadopsi dari sistem hukum kewarisan
Islam meliputi:
1.
Posisi isteri/
janda tidak mempengaruhi waktu pelaksanaan pembagian harta warisan. Artinya,
pembagian harta warisan diselenggarakan setelah pewaris meninggal dunia.
2.
Pembagian harta
warisan dengan perbandingan dua banding satu, atau satu banding setengah, yaitu
untuk anak laki-laki dan perempuan.
3.
Isteri atau
janda memperoleh bagian yaitu seperdelapan dari harta warisan.
Sedangkan
unsur-unsur yang diambil dari sistem kewarisan adat jawa adalah klasifikasi
harta berdasarkan harta Sultan dan harta Kesultanan. Harta yang disebut pertama
sebagai harta biasa. Harta biasa itu di masyarakat Jawa dibagikan kepada
seluruh ahli waris. Sedangkan harta yang disebut harta Kesultanan merupakan
harta istimewa. Harta istimewa dalam masyarakat Jawa sebagai harta tanah yang
subur. Tanah yang subur itu diwariskan secara tunggal kepada salah satu ahli
waris yang biasanya anak tertua. Meski diwariskan secara tunggal, harta tanah
yang subur digunakan untuk kepentingan keluarga.
Ada
unsur-unsur dalam pelaksanaan kewarisan Kesultanan Yogyakarta yang disesuaikan
dengan unsur kewarisan adat Jawa. Unsur ini adalah adopsi ahli waris pengganti.
Ahli waris pengganti terjadi dalam pelaksanaan kewarisan Kesultanan Yogyakarta,
disamping itu ada unsur yang tidak ada menganut pola hukum kewarisan Islam
maupun kewarisan adat Jawa. Unsur ini adalah harta warisan tidak dikategorisasi
berdasarkan hubungan perkawinan (hara bersama harta bawaan) sebagaimana terjadi
dalam hukum waris Islam maupun hukum waris Jawa.
Ketiadaan
klasifikasi harta warisan berdasarkan hubungan perkawinan ini merupakan cirri
khas dalam pelaksanaan pembagian harta warisan di Kesultanan Yogyakarta.
Pelaksaan
kewarisan di Kesultanan Yogyakarta secara asasi menganut beberapa asas.
Asas-asas itu antara lain :
1.
Asas Bilateral
Seseorang yang menerima hak warisan dari
dua garis keturunan kekerabatan, yakni garis darah laki-laki maupun pihak
kerabat dari garis darah perempuan. Artinya, seseorang berhak menerima warisan
dari kedua belah pihak baik dari garis keturunan laki-laki maupun garis
keturunan perempuan. Maka hak dan kedudukan yang sama juga berlaku untuk
saudara laki-laki dan perempuan agar saling mewarisi.
2.
Asas Keutamaan
Asas ini merupakan penerimanaan harta
kewarisan, terdapat tingkatan-tingkatan hak yang menyebabkan satu pihak lebih
berhak dibandingkan dengan pihak lain, dan selama pihak yang lebih berhak itu
masih ada, maka pihak yang lain tidak menerimanya.
3.
Asas Individual
Harta warisan dibagi sesuai dengan ahli
waris untuk dimiliki secara individu. Keseluruhan harta warisan dinyatakan
dalam nilai tertentu yang dibagikan kepada ahli waris menurut kadar bagian masing-masing.
4.
Asas Pergantian
Ahli Waris
Ahli waris pokok yang meninggal terlebih
dahulu daripada pewaris maka kedudukan sebagai ahli waris dapat digantikan
anaknya.
5.
Asas Perdamaian
Para ahli waris mengadakan rembug
keluarga untuk membuat kesepakatan mengenai pembagian harta warisan. Asal semua
ahli waris sepakat dengan suatu kesepakatan untuk membagi harta warisan dengan cara
mereka sepakati.
6.
Asas
Personalitas Keislaman
Seluruh ahli waris dan pewaris beragama
islam. Agama Islam merupakan agama resmi Kesultanan Yogyakarta.
7.
Asas Kewarisan
Semata Akibat Kematian
Proses pewarisan atas peralihan harta
warisan dari pewaris kepada generasi berikut sebagai ahli waris, dilaksanakan
setelah orang yang memiliki harta sudah meninggal.
8.
Asas Mayorat
Laki-laki
Suatu sistem kewarisan yang anak tertua
laki-laki maupun perempuan pada saat wafatnya pewaris berhak untuk mewarisi
seluruh atau jumlah harta pokok dari harta peninggalan. Di Kraton Kesultanan
Yogyakarta seseorang dapat menguasai dan mewarisi harta Sultan sebagai Kepala
Kraton atau Kesultanan harus anak laki-laki. Anak laki-laki berhak atas tahta
trah Kesultanan sebagai Sultan sekaligus menguasai serta mengelola harta
Kesultanan. Maka, di Kesultanan Yogyakarta berlaku Asas Kewarisan atas dasar
Mayorat Lelaki. Hubungan hukum Islam dengan Hukum Kesultanan Yogyakarta terjadi
konvergensi dan unsur-unsur waris artinya, hukum kewarisan suwargi Sultang
Hamengku Buwono IV menyatukan unsur-unsur dari sistem hukum waris Islam dan
hukum waris adat Jawa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar