BAB 2
Aku menilik jam tanganku. Seharusnya
jika bus tepat waktu, lima belas menit lagi aku dan Fatma akan sampai di
Kahlenberg.
Kahlenberg adalah sebuah bukit atau
pegunungan di Wina, Austria yang masih menjadi bagian kecil dari gugusan Alpen
yang mengitari 7 negara Eropa. Dari Kahlenberg, orang bias melongok cantiknya
Wina dari ketiggian, dari pojok A sampai Z. Sesuai namanya, Kahlenberg, “kahl” dalam bahasa Jerman berarti telanjang,
sementara “berg pegunungan. Jadi,
kira-kira maksud si pemberi nama pegunungan ini kala itu adalah dari ini orang
bias menelanjangangi kota Wina seutuhnya tanpa batas.
Untuk menuju Kahlenberg, aku dan Fatma
hanya perlu mengambil bus dari pusat kota dengan tiket biasa, bukan tiket
khusus. Hnya dengan 1,8 Euro—atau sekitar 22ribu rupiah—sesuai plot jadwal yang
aku baca di halte, kami akan menempuh perjalanan dalam waktu 1 jam hingga
mencapai titik tertinggi Wina dengan 20 halte bus diantaranya.
bus mulai berjalan, aku merasakan sebuah
intuisi yang dalam. Perjlanan ke
Kahlenberg ini pasti perjalanan yang memikat, aku yakin.
Tepat pukul 17.30 kami turun dari bus
di sebuah halte sepi diatas bukit. Udara menjadi dingin karena kehangatan
oemanas dibus hilang seketika dari tubuhku. Tapi, rasa dingin itu menjadi sirna
tak terasa tatkala mataku menangjap pemandangan gunung nan asri. Kami melangjag
mendekati pagar pembatas disepanjag bukit. Pagar itu melingkar membenteni 2
bukit kecil yang ditebas menyerupai tembok. Berdiri dibelakangnya memungkinkan
kita melihat kota Wina seutuhnya. Wina yang menyambut datangnya senja. Terlihat
pemandangan luar biasa indah yang mencuri perhatianku. Kugendon Ayse mendekati
pagar oembatas Kahlenberg.
Mataharo sudah semakin memerah menuju
eraduan, membuat bangunan dan gedung seremoak menyalakan lampu. Momen tersebut
saying bila terlewatkan. Kamera dibalik mantelku sudah kukeluarkan, siap
menjepret detik-detik berubahnya suasana malam di Wina. Kilatan sinar dari
kameraku langsung membuncah berkali-kali mengabadikan panorama senja itu. Ayse
yang terus berada dalam pelukanku sesekali kubiarkan mencoba memencet-mencet
tombol capture.
Diafragma kameraku menangkap sebuah
objek yang membuatku bertanya-tanya. Sederhana, tetapi dia memberikan pengaruh
besar terhadap horizon pemandangan kota Wina. Sebuah sungai yang membelah kota
Wina menjadi 2. Aku baru sadar, inilah sungai yang terkenal itu. Donau atau
Danube. Sungai yang menginspirasi Johann Strauss menciptakan lagu waltz The Blue Danube.
Simfoni abadi musik klasik itu ternyata
berawal dari sungai bening dihadapanku kali itu. Waltz The Blue Danube benar-benar menggambarkan aliran sungai yang menginspirasinya.
Airnya terkadamg tenang, terkadang bercipratan. Persis permainan partitur waltz
The Blue Danube yang kadang bergerak
lembut legato dan berlompatan straccato.
≈
Teng…
teng… teng…
Nan jauh dikota Win asana, lonceng
gereja berbunyi bertalu-talu. Gereja kecil yang ada di Kahlenberg pun tak mau
kalah menyahur. Suara loncengnya berdentang berkali-kali.
Waktu sudah menunjukkan pukul 6 sore.
Matahari semakin menenggelamkan diri ke peristirahatannya. Ekor sinarnya yang
berwarna semburat jingga terlihat begitu anggun. Suguhan lukissn alam yang
semakin indah pada senja hari. Dari mataku aku mengindera 3 horizon panorama.
Paling atas dilangit gelp dan matahari yang terbenam. Ditengah adalah
bangunan-bangunan tingg bercahaya yang kuyakini sebagian besar adalah gedung
pencakar lngit di kompleks markas PBB, gereja, dan menara pemancar. Paling
banyak adalah Sungai Danube, simfoni gemercik airnya bias terdengar dari atas
Bukit Kahlenberg. Komposisi pemandangan yang langka di mataku.
Aku berusaha menikmati keindahan sore
dilereng Kahlenberg. Sampai aku tersadar ada sesuatu yang hilang pada senja
itu. Sesuatu yang akrab kudengar menjelang matahari terbenam, tapi kali ini
tiada.
Fatma memech keheningan, sontak
menyadarkanku dari lamunan. Dia seperti tahu apa yang sedang kulamunkan senja
itu.
“Kau
tidak bisa mendengaenya, kan Hanum? Nun jauh disana, ditepi Sungai Danube, ada
masjid. Kalau mendekat, kita bisa mendengar azan dari masjid itu”.
Segera
aku raih kameraku kembali. Kufokuska lensanya ke bangunan tersebt. Dengan zoom in maksimal dalam pencahayaan
sangat kurang, aku melihat bangunan berwarna hijau dengan kubah blenduk dan minaret.
Fatma
memberitauku, masjid itu bernama Vienna Islamic Center, pusat peribadatan umat
islam terbesar di Wina.
Seorang muazin pasti sedang memanggil
umat islam untuk solat magrib sore ini, gumamku dalam hati. Hanya saja suaranya
dikalahkan lonceng gereja di jagat Wina yang berdengung-dengung.
Sanubariku
tiba-tiba bergerak, lalu kupejampkan mata. Konsentrasiku kupusatkan oada suatu
kata, seolah aku mendengarnya dengan jelas, dan mengikutinya. Allahu akbar…Allahu Akbar.. segitulah
rasanya. Lalu kuresaoi hafalan doa sesuai panggilan solat. Sebersit perasaan
rindu kampung halaman menerpaku. Sudah beberapa minggu telingku tak dihampiri
suara kebesaran Tuhan di Eropa ini.
Rasa
rindu yang menggejala itu perlahan hilang saat bulu romaku serempak berdiri.
Bukan karena ketakutan, tapi kedinginan. Matahari sudah benar-benar menghilang.
Panorama Wina sudah stabil dengan cahaya lampu yang itu-itu saja. Kabut malam
yang tebal mulai menyaput deretan bangunan dan menara Wina. Manusia yang
berkerumun juga sudh mulai rontok meninggalkan pagar batas Kahlenberg,
menyisakan aku, Fatma dan Ayse.
“Lebih
baik kita langung ke dalam bangunan saja, Fatma. Lihat Ayse, sepertinya dia tak
kuat menahan hawa sedingin ini,” kataku tak tega melihat hidung Ayse mulai
basah karena ingus. Satu-satunya bangunan yang kumaksud tak lain adalan Saint
Joseph, gereja berwarna kuning keemasan. Selain sebuah cafeteria, gereja itu
mejadi satu-satunya alternative tempat berlinfung dari hawa dingin yang
menusuk. Aku berlari menggendung Ayse menuju gereja tanpa menghiraukan ibunya.
Sejenak baru kusadari bahwa Fatma adalah muslimah berjilbab. Muslimah yang
mungkin kurang nyaman memasuki tempat ibadah agama lain.
Kutengokkan
kepalaku kebelakang, mencari keberadaan Fatma. Ternyata dia lari tergopoh-gopoh
tepat dibelakangku.
“Fatma,
kurasa…mmm… sebaiknya kita menghangatkan diri di kafe.” Pertanyaanku membuat
Fatma sedikit masygul.
“kenapa?
Sudah terlanjur berlari kemari. Sebaiknya kita masuk duluke gereja. Didalam
banyak patung dan relief yang artistic. Kau perlu mengabadikannya dengan
kameramu. Setelah itu, baru kita bersantai dikafe. Lekas masuk!”
Tak
menduga jawaban Fatma, aku memasuki gerbang gereja Saint Joseph. Kami beruntung
hari gereja tersebut tak biasa dibuka untuk umum, tapi hari iru misa tengah
berlangsung. Jemaah yang sebagian besar beruban alias berusia lanjut tampak
khidmat mendengarkan khotbah dan sesekali menyanyikan lagu bersama. Beberapa
rombongan jemah mengalir berdatangan dan langsung mengambil tempat. Lalu kami?
Kami tak sendiri. Ternyata banyak turis yang juga kedinginan seperti kami. Msuk
ke gereja bukan untuk berdoa, melainkan karena tak kuat lagi menahan dingin.
Gereja menjadi penyelamatnya. Para turis berdiri di area luar misa dan tanpa
malu-malu menjepret objek-objek menarik dalam gereja. Hal ini boleh dilakukan
dengan satu syarat, tanpa blitz. Aku pun tak mau ketinggalan mengabadikan
setiap sudut gereja yang berumur ratusan tahun itu. Tapi, tanganku seakan beku
tak bisa digerakkan. Gambar yang kuambil menjadi gurat-gurat tak jelas. Dingin
masih berdiam diri dalam kepalan tangan dan jari-jariku.
“aku tahu cara menghangatkan badan
yang paling efektif dalam gereja,” sekali lagi Fatma seperti bisa membaca
kegelisahanku. Gelisah karena tanganku bagai batu. Lalu dengan sigap dia
memperagakan cara cepat menaikkan suhu tubuh manusia dalam gereja.
Mengayun-ayunkan jari jemarinya mengawang diatas lilin-lilin yang menerangi
remang Saint Joseph, kemudian dengan cepat menariknya kembali.
Aku mengikut
Fatma. Kukibas-kibaskan kedua tanganku diatas api lilin yang sebenarnya
ditujukan untuk berdoa. Beberapa saat, jari-jariku yng membeku mulai
menghangat. Dan dari ujung jari-jari itu, kalor panas mulai mermbat masuk ke
dalam tubuhku. Didekat beranda lilin itu ada sebuah gelas porselen dengan
tulisan 50 cent Euro. Kumasukkan koin 50 cent Euro kedalam gelas posrselen
tersebut. Tanda terima kasih karena lilin-lilin tersebut telah memberi
kehangatan.
Kulihat Fatma yang masih menggedong
Ayse sambil sesekali mengusap hidung Ayse yang dialiri ingus. Dia bagitu
antusias mengambil gambar disetiap sudut gereja lewat kamera yang kutitipkan padanya. Sebuah perasaan yang tak
bisa kugambarkan seketika menghinggapi diriku. Tentang Fatma dan seluruh
sikapnya hari ini. Sikapnya yang membantah kekhawatiranku terhadap prinsip
tentang islam.
Dia begitu ringan memahami agamanya
tanpa menyulitkan dirinya sendiri. Jelas, tidak semua orang muslim yang
mempunyai pandangan sama. Bahwa mereka boleh memasuki tempat ibadah umat agama
lain. Tapi bagi Fatma, semua itu berpulang pada niat dalam hati. Niat saat itu
tentu untuk mencari perlindungan diri dari serangan hawa dingin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar