Rabu, 02 Desember 2015

Bagian 2 "99 Cahaya di Langit Eropa" (resume)



BAB 2
Aku menilik jam tanganku. Seharusnya jika bus tepat waktu, lima belas menit lagi aku dan Fatma akan sampai di Kahlenberg.
Kahlenberg adalah sebuah bukit atau pegunungan di Wina, Austria yang masih menjadi bagian kecil dari gugusan Alpen yang mengitari 7 negara Eropa. Dari Kahlenberg, orang bias melongok cantiknya Wina dari ketiggian, dari pojok A sampai Z. Sesuai namanya, Kahlenberg, “kahl” dalam bahasa Jerman berarti telanjang, sementara “berg pegunungan. Jadi, kira-kira maksud si pemberi nama pegunungan ini kala itu adalah dari ini orang bias menelanjangangi kota Wina seutuhnya tanpa batas.
Untuk menuju Kahlenberg, aku dan Fatma hanya perlu mengambil bus dari pusat kota dengan tiket biasa, bukan tiket khusus. Hnya dengan 1,8 Euro—atau sekitar 22ribu rupiah—sesuai plot jadwal yang aku baca di halte, kami akan menempuh perjalanan dalam waktu 1 jam hingga mencapai titik tertinggi Wina dengan 20 halte bus diantaranya.
 bus mulai berjalan, aku merasakan sebuah intuisi yang dalam. Perjlanan ke Kahlenberg ini pasti perjalanan yang memikat, aku yakin.
Tepat pukul 17.30 kami turun dari bus di sebuah halte sepi diatas bukit. Udara menjadi dingin karena kehangatan oemanas dibus hilang seketika dari tubuhku. Tapi, rasa dingin itu menjadi sirna tak terasa tatkala mataku menangjap pemandangan gunung nan asri. Kami melangjag mendekati pagar pembatas disepanjag bukit. Pagar itu melingkar membenteni 2 bukit kecil yang ditebas menyerupai tembok. Berdiri dibelakangnya memungkinkan kita melihat kota Wina seutuhnya. Wina yang menyambut datangnya senja. Terlihat pemandangan luar biasa indah yang mencuri perhatianku. Kugendon Ayse mendekati pagar oembatas Kahlenberg.
Mataharo sudah semakin memerah menuju eraduan, membuat bangunan dan gedung seremoak menyalakan lampu. Momen tersebut saying bila terlewatkan. Kamera dibalik mantelku sudah kukeluarkan, siap menjepret detik-detik berubahnya suasana malam di Wina. Kilatan sinar dari kameraku langsung membuncah berkali-kali mengabadikan panorama senja itu. Ayse yang terus berada dalam pelukanku sesekali kubiarkan mencoba memencet-mencet tombol capture.
Diafragma kameraku menangkap sebuah objek yang membuatku bertanya-tanya. Sederhana, tetapi dia memberikan pengaruh besar terhadap horizon pemandangan kota Wina. Sebuah sungai yang membelah kota Wina menjadi 2. Aku baru sadar, inilah sungai yang terkenal itu. Donau atau Danube. Sungai yang menginspirasi Johann Strauss menciptakan lagu waltz The Blue Danube.
Simfoni abadi musik klasik itu ternyata berawal dari sungai bening dihadapanku kali itu. Waltz The Blue Danube benar-benar menggambarkan aliran sungai yang menginspirasinya. Airnya terkadamg tenang, terkadang bercipratan. Persis permainan partitur waltz The Blue Danube yang kadang bergerak lembut legato dan berlompatan straccato.
Teng… teng… teng…
Nan jauh dikota Win asana, lonceng gereja berbunyi bertalu-talu. Gereja kecil yang ada di Kahlenberg pun tak mau kalah menyahur. Suara loncengnya berdentang berkali-kali.
Waktu sudah menunjukkan pukul 6 sore. Matahari semakin menenggelamkan diri ke peristirahatannya. Ekor sinarnya yang berwarna semburat jingga terlihat begitu anggun. Suguhan lukissn alam yang semakin indah pada senja hari. Dari mataku aku mengindera 3 horizon panorama. Paling atas dilangit gelp dan matahari yang terbenam. Ditengah adalah bangunan-bangunan tingg bercahaya yang kuyakini sebagian besar adalah gedung pencakar lngit di kompleks markas PBB, gereja, dan menara pemancar. Paling banyak adalah Sungai Danube, simfoni gemercik airnya bias terdengar dari atas Bukit Kahlenberg. Komposisi pemandangan yang langka di mataku.
Aku berusaha menikmati keindahan sore dilereng Kahlenberg. Sampai aku tersadar ada sesuatu yang hilang pada senja itu. Sesuatu yang akrab kudengar menjelang matahari terbenam, tapi kali ini tiada.
Fatma memech keheningan, sontak menyadarkanku dari lamunan. Dia seperti tahu apa yang sedang kulamunkan senja itu.
“Kau tidak bisa mendengaenya, kan Hanum? Nun jauh disana, ditepi Sungai Danube, ada masjid. Kalau mendekat, kita bisa mendengar azan dari masjid itu”.
Segera aku raih kameraku kembali. Kufokuska lensanya ke bangunan tersebt. Dengan zoom in maksimal dalam pencahayaan sangat kurang, aku melihat bangunan berwarna hijau dengan kubah blenduk dan minaret.
Fatma memberitauku, masjid itu bernama Vienna Islamic Center, pusat peribadatan umat islam terbesar di Wina.
Seorang muazin pasti sedang memanggil umat islam untuk solat magrib sore ini, gumamku dalam hati. Hanya saja suaranya dikalahkan lonceng gereja di jagat Wina yang berdengung-dengung.
Sanubariku tiba-tiba bergerak, lalu kupejampkan mata. Konsentrasiku kupusatkan oada suatu kata, seolah aku mendengarnya dengan jelas, dan mengikutinya. Allahu akbar…Allahu Akbar.. segitulah rasanya. Lalu kuresaoi hafalan doa sesuai panggilan solat. Sebersit perasaan rindu kampung halaman menerpaku. Sudah beberapa minggu telingku tak dihampiri suara kebesaran Tuhan di Eropa ini.
Rasa rindu yang menggejala itu perlahan hilang saat bulu romaku serempak berdiri. Bukan karena ketakutan, tapi kedinginan. Matahari sudah benar-benar menghilang. Panorama Wina sudah stabil dengan cahaya lampu yang itu-itu saja. Kabut malam yang tebal mulai menyaput deretan bangunan dan menara Wina. Manusia yang berkerumun juga sudh mulai rontok meninggalkan pagar batas Kahlenberg, menyisakan aku, Fatma dan Ayse.
“Lebih baik kita langung ke dalam bangunan saja, Fatma. Lihat Ayse, sepertinya dia tak kuat menahan hawa sedingin ini,” kataku tak tega melihat hidung Ayse mulai basah karena ingus. Satu-satunya bangunan yang kumaksud tak lain adalan Saint Joseph, gereja berwarna kuning keemasan. Selain sebuah cafeteria, gereja itu mejadi satu-satunya alternative tempat berlinfung dari hawa dingin yang menusuk. Aku berlari menggendung Ayse menuju gereja tanpa menghiraukan ibunya. Sejenak baru kusadari bahwa Fatma adalah muslimah berjilbab. Muslimah yang mungkin kurang nyaman memasuki tempat ibadah agama lain.
Kutengokkan kepalaku kebelakang, mencari keberadaan Fatma. Ternyata dia lari tergopoh-gopoh tepat dibelakangku.
“Fatma, kurasa…mmm… sebaiknya kita menghangatkan diri di kafe.” Pertanyaanku membuat Fatma sedikit masygul.
“kenapa? Sudah terlanjur berlari kemari. Sebaiknya kita masuk duluke gereja. Didalam banyak patung dan relief yang artistic. Kau perlu mengabadikannya dengan kameramu. Setelah itu, baru kita bersantai dikafe. Lekas masuk!”
Tak menduga jawaban Fatma, aku memasuki gerbang gereja Saint Joseph. Kami beruntung hari gereja tersebut tak biasa dibuka untuk umum, tapi hari iru misa tengah berlangsung. Jemaah yang sebagian besar beruban alias berusia lanjut tampak khidmat mendengarkan khotbah dan sesekali menyanyikan lagu bersama. Beberapa rombongan jemah mengalir berdatangan dan langsung mengambil tempat. Lalu kami? Kami tak sendiri. Ternyata banyak turis yang juga kedinginan seperti kami. Msuk ke gereja bukan untuk berdoa, melainkan karena tak kuat lagi menahan dingin. Gereja menjadi penyelamatnya. Para turis berdiri di area luar misa dan tanpa malu-malu menjepret objek-objek menarik dalam gereja. Hal ini boleh dilakukan dengan satu syarat, tanpa blitz. Aku pun tak mau ketinggalan mengabadikan setiap sudut gereja yang berumur ratusan tahun itu. Tapi, tanganku seakan beku tak bisa digerakkan. Gambar yang kuambil menjadi gurat-gurat tak jelas. Dingin masih berdiam diri dalam kepalan tangan dan jari-jariku.
            “aku tahu cara menghangatkan badan yang paling efektif dalam gereja,” sekali lagi Fatma seperti bisa membaca kegelisahanku. Gelisah karena tanganku bagai batu. Lalu dengan sigap dia memperagakan cara cepat menaikkan suhu tubuh manusia dalam gereja. Mengayun-ayunkan jari jemarinya mengawang diatas lilin-lilin yang menerangi remang Saint Joseph, kemudian dengan cepat menariknya kembali.
                Aku mengikut Fatma. Kukibas-kibaskan kedua tanganku diatas api lilin yang sebenarnya ditujukan untuk berdoa. Beberapa saat, jari-jariku yng membeku mulai menghangat. Dan dari ujung jari-jari itu, kalor panas mulai mermbat masuk ke dalam tubuhku. Didekat beranda lilin itu ada sebuah gelas porselen dengan tulisan 50 cent Euro. Kumasukkan koin 50 cent Euro kedalam gelas posrselen tersebut. Tanda terima kasih karena lilin-lilin tersebut telah memberi kehangatan.
            Kulihat Fatma yang masih menggedong Ayse sambil sesekali mengusap hidung Ayse yang dialiri ingus. Dia bagitu antusias mengambil gambar disetiap sudut gereja lewat kamera yang  kutitipkan padanya. Sebuah perasaan yang tak bisa kugambarkan seketika menghinggapi diriku. Tentang Fatma dan seluruh sikapnya hari ini. Sikapnya yang membantah kekhawatiranku terhadap prinsip tentang islam.
            Dia begitu ringan memahami agamanya tanpa menyulitkan dirinya sendiri. Jelas, tidak semua orang muslim yang mempunyai pandangan sama. Bahwa mereka boleh memasuki tempat ibadah umat agama lain. Tapi bagi Fatma, semua itu berpulang pada niat dalam hati. Niat saat itu tentu untuk mencari perlindungan diri dari serangan hawa dingin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar