PROLOG
Tinggal di Eropa selama tiga tahun
menjadi arena menjelajah eropa dan segala isinya. Untuk pertama kalinya dalam
26 tahun, saya merasakan hidup disuatu Negara tempat islam menjadi minoritas.
Pengalaman yang makin memperkaya dimensi spiritual untuk lebih mengenal islam
dengan cara yang berbeda. Buku ini adalah catatan perjalanan atas sebuah
pencarian. Perjalanan yang membuat saya menemukan banyak hal lain yang jauh
lebih menarik dari sekedar Menara Eiffel, Tembok berlin, Konser Mozart, Stadion
Sepak Bola San Siro, Colloseum Roma atau gondola-gondola di Venezia. Pencarian
saya telah mengantarkan saya pada daftar tempat-tempat ziarah baru di Eropa
yang belum pernah saya dengar sebelumnya. Memang tempat-tempat ziarah tersebut
bukanlah tempat suci yang namanya pernah disebut dalam al-quran atau kisah para
nabi. Tapi dengan mengunjungi tempat-tempat tersebut, saya jadi semakin
mengenal identitas agama saya sendiri. Membuat saya makin jatuh cinta dengan
islam.
Eropa dan islam. Mereka pernah menjadi
pasangan serasi. Kini hubungan keduanya penuh pasang surut prasangka dengan
berbagai dinamikanya. Berbagai kejadian sejak 10 tahun terakhir—misalnya
pengeboman Madrid dan London, menyusul serangan teroris 11 september di
Amerika, Kontroversi kartun nabi Muhammad, dan film Fitna di
Belanda—menyebabkan hubungan dunia islam dan eropa mengalami ketegangannya yang
cukup serius. Saya merasakan ada manusia-manusia dari kedua pihak yang terus
bekerja untuk memperburuk hubungan keduanya. Luka dan dendam akibat ratusan
tahun Perang Salib yang rupanya masih membekas sampai hari ini.
Mengutip kata-kata George Santayana: ” Those who don’t learn from history art
doomed to repeat it.’’ Barang siapa melupakan sejarah, dia pasti akan
mengulanginya banyak diantara umat islam kini yang tidak lagi mengenali sejarah
kebesaran Islam pada masa lalu. Tidak banyak yang tahu bahwa luas teritori
kekhalifahan Umayyah hamper dua kali lebih besar daripada wilayah kekaisaran
Roma dibawah Julius Caesar. Tidak banyak yang tahu pula bahwa peradaban islam
lah yang memperkenalkan Eropa pada Aristoteles, Plato, dan Socrates, serta
akhirnya meniupkan angina renaissance bagi kemajuan Eropa saat ini. Cordoba,
ibukota kekhalifahan islam di Sepanyol, pernah menjadi pusat peradaban
pengetahuan dunia, yang membuat Paris dan London beriri hati.
Islam
pertama kali masuk ke Spanyol membawa kedamaian dan kemajuan peradaban.
Benih-benih islam itu tumbuh menyinari tanah Spanyol hingga 750 tahun lebih,
Jauh sebelum dan lebih lama daripada Indonesia mengenal islam. Namun kita semua
juga harus bertanya, apa yang membuat cahaya ini kemudian meredup? Peristiwa
apa yang akhirnya membuat islam tersapu dari Spanyol? Apa yang bisa kita
mempelajari dari kesalahan-kesalahan masa lalu agar kita tidak terperosok
dilubang yang sama?
Tidak
bias kita mungkiri, peradaban islam mengalami kemunduran selama beberapa abad
terakhir. Ditengah retorica teriakan jihad untuk memerangi negara0negara barat,
kita dihadapkan pada suatu realitas: tidak ada satupun Negara islam yang
memiliki kemampuan teknologi untuk melindungi dirinya sendiri saat ini.
Dunia
islam saat ini sudah mulai memaingkan muka dari pengembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi. Semakin jauh dari akar yang membuatnya bersinar lebih dari 1.000
tahun yang lalu. Kemudian ketika ada Negara yang melarang pemakaian jilbab,
pembangunan minaret, atau seorang yang mengolok-olok islam dengan membuat video
fitna, kita hanya bias berteriak-teriak didepan kedutaan Negara mereka sambil
membakar bendera. Hanya itu.
Ini
yang coba saya refleksikan dalam catatan perjalanan ini. Saya mencoba
menyimpulkan kembali sisa kebesaran peradaban islam yang kini terserak. Dan
saya justru menemukan jejak-jejak peninggalan tersebut selama menempuh
perjalanan menjadi jelajah Eropa.
≈
Sudah terlalu banyak buku trafeling
sebelumnya, terutama tentang Eropa dan segala keindahannya, yang hadir.
Bangunan-bangunan, tempt yang wajib dikunjungi berikut tip-tip perjalanan dan
cara kreatif untuk berhemat, semua dikemas untuk pembaca. Tapi buat saya
sendiri, hakikat sebuah perjalanan bukanlah sekedar menikmati keindahan dari
satu tempat ke tempat lain. Bukan sekedar mengagumi dan menemukan tempat-tempat
unik disuatu daerah dengan biaya semurah-murahnya.
Menurut saya, makna sebuah perjalanan
harus lebih besar daripada itu. Bagaimana perjalanan tersebut harus bias
membawa pelakunya naik kederajat yang lebih tinggi, memperluas wawasan
sekaligus memperdalam keimanan. Sebagaimana yang dicontohkan oleh perjalanan
hijrah nabi Muhammad saw. Dari Mekah ke Madinan umat islam terdahulu
adalah”traveler” yang tangguh. Jauh sebelum Vasco de Gama menemukan semenanjung
harapan, atau Colombus menemukan benua Amerika, musafir-musafir islam telah
menyebrangi 3 samudra hingga Indonesia, berkelana jauh sampai ujung negeri
Cina, menembus Himalaya dan padang pasir Gobi. Mereka adalah orang-orang yang
tidak pernah ragu untuk meninggalkan rumah, belajar hal-hal baru dari dunia
luar sana. Bukankah dalam al-quran juga disebutkn bahwa Allah menciptakan
manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar manusia bias saling mengenal,
ta’aruf, saling belajar dari bangsa-bangsa lain untuk menaikkan derajat
kemuliaan di sisi Allah?
Bagi saya, berada di Eropa selama lebih
dari 3 tahun adalah tak ternilai harganya.saya mencoba membuka mata dan hati
saya penerima hal-hal baru dan merefleksikanya untuk memperkuat keimanan
saya.menelisak hikmah dalam setiap perjalanan, belajar dari pengalaman dan
membaca rahasia-rahasia masalalu yang kini hampir tak terlihat lagi di
permukaan. Saya tak menyangka Eropa sesungguhnya juga menyimpan sejuta misteri
tentang islam.
Catatan perjalanan ini berdasarkan
kisah nyata saya dan Rangga dalam
berintaraksi sosial dan mengusung fakta
sejarah yang sebenarnya. Namun,untuk melindungi privasi orang-orang yang terlibat
dalam cerita ini,tanpa menghilangkan esensinya.
Perjalanan saya menjelajah Eropa adalah
sebuah pencarian 99 cahaya kesempurnaan yang pernah di pancarkan islam di benua
in.vienna,Paris,Madrid,Cordoba,Granada, dan Istanbul masuk dalam manives
perjalanan saya selama menjelajahi Eropa.
Perjalan ini membuka mata saya bahwa
islam dulu pernah menjadi sumber cahaya terang benderang ketika Eropa di liputi
abad kegelapan. Islam pernah bersinar sebagai peragaban paling maju didunia,
ketika dakwah bias bersatu dengan pengetahuan dan kedamaian, bukan terror atau
kekerasan.
Saat memandang matahari tenggelam di
Menara Eiffel Paris, Katedral Mezquita Cordoba, Istana Al-Hambra Granada, atau
Hagia Sophia Istanbul, saya bersimpuh. Matahari tenggelam yang saya lihat
adalah jelas matahari yang sama, yang juga dilihat oleh orang-orang di benua
ini 1000 tahun lalu.
Matahari itu menjadi saksi bisu bahwa
islam pernah mendamai eropa, menguburkannya dengan menyebar benih-benih ilmu
pengetahuan, dan menyianginya dengan kasih saying dan semangat toleransi antar
rumah beragama.
Akhir dari perjalanan selama 3 tahun di
Eropa justru mengantarkan saya pada pencarian makna dan tujuan hidup. Makin
mendekatkan saya pada sumber kebenaran abadi yang maha sempurna.
Saya teringat kata sahabat Ali Ra. :
Wahai
anakku! Dunia ini bagaikan samudra tempat banyak ciptaan-ciptaan-Nya yang tenggelam. Maka
jelajahilah dunia ini dengan menyebut nama Allah. Jadikan ketakutanmu pada
Allah sebagai kapal-kapal yang menyelamatkanmu. Kembangkanlah keimanan sebagai
layarmu, logika sebagai pendayuh kapalmu, ilmu pengetahuan sebagai nahkoda
perjalanan mu; dan kesabaran sebagai jangkar dalam setiap badai cobaan. (Ali
bin Abi Thalib ra.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar