Rabu, 02 Desember 2015

Prolog "99 Cahaya di Langit Eropa" (Resume)



PROLOG
Tinggal di Eropa selama tiga tahun menjadi arena menjelajah eropa dan segala isinya. Untuk pertama kalinya dalam 26 tahun, saya merasakan hidup disuatu Negara tempat islam menjadi minoritas. Pengalaman yang makin memperkaya dimensi spiritual untuk lebih mengenal islam dengan cara yang berbeda. Buku ini adalah catatan perjalanan atas sebuah pencarian. Perjalanan yang membuat saya menemukan banyak hal lain yang jauh lebih menarik dari sekedar Menara Eiffel, Tembok berlin, Konser Mozart, Stadion Sepak Bola San Siro, Colloseum Roma atau gondola-gondola di Venezia. Pencarian saya telah mengantarkan saya pada daftar tempat-tempat ziarah baru di Eropa yang belum pernah saya dengar sebelumnya. Memang tempat-tempat ziarah tersebut bukanlah tempat suci yang namanya pernah disebut dalam al-quran atau kisah para nabi. Tapi dengan mengunjungi tempat-tempat tersebut, saya jadi semakin mengenal identitas agama saya sendiri. Membuat saya makin jatuh cinta dengan islam.
Eropa dan islam. Mereka pernah menjadi pasangan serasi. Kini hubungan keduanya penuh pasang surut prasangka dengan berbagai dinamikanya. Berbagai kejadian sejak 10 tahun terakhir—misalnya pengeboman Madrid dan London, menyusul serangan teroris 11 september di Amerika, Kontroversi kartun nabi Muhammad, dan film Fitna di Belanda—menyebabkan hubungan dunia islam dan eropa mengalami ketegangannya yang cukup serius. Saya merasakan ada manusia-manusia dari kedua pihak yang terus bekerja untuk memperburuk hubungan keduanya. Luka dan dendam akibat ratusan tahun Perang Salib yang rupanya masih membekas sampai hari ini.
Mengutip kata-kata George Santayana: ” Those who don’t learn from history art doomed to repeat it.’’ Barang siapa melupakan sejarah, dia pasti akan mengulanginya banyak diantara umat islam kini yang tidak lagi mengenali sejarah kebesaran Islam pada masa lalu. Tidak banyak yang tahu bahwa luas teritori kekhalifahan Umayyah hamper dua kali lebih besar daripada wilayah kekaisaran Roma dibawah Julius Caesar. Tidak banyak yang tahu pula bahwa peradaban islam lah yang memperkenalkan Eropa pada Aristoteles, Plato, dan Socrates, serta akhirnya meniupkan angina renaissance bagi kemajuan Eropa saat ini. Cordoba, ibukota kekhalifahan islam di Sepanyol, pernah menjadi pusat peradaban pengetahuan dunia, yang membuat Paris dan London beriri hati.
Islam pertama kali masuk ke Spanyol membawa kedamaian dan kemajuan peradaban. Benih-benih islam itu tumbuh menyinari tanah Spanyol hingga 750 tahun lebih, Jauh sebelum dan lebih lama daripada Indonesia mengenal islam. Namun kita semua juga harus bertanya, apa yang membuat cahaya ini kemudian meredup? Peristiwa apa yang akhirnya membuat islam tersapu dari Spanyol? Apa yang bisa kita mempelajari dari kesalahan-kesalahan masa lalu agar kita tidak terperosok dilubang yang sama?
Tidak bias kita mungkiri, peradaban islam mengalami kemunduran selama beberapa abad terakhir. Ditengah retorica teriakan jihad untuk memerangi negara0negara barat, kita dihadapkan pada suatu realitas: tidak ada satupun Negara islam yang memiliki kemampuan teknologi untuk melindungi dirinya sendiri saat ini.
Dunia islam saat ini sudah mulai memaingkan muka dari pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Semakin jauh dari akar yang membuatnya bersinar lebih dari 1.000 tahun yang lalu. Kemudian ketika ada Negara yang melarang pemakaian jilbab, pembangunan minaret, atau seorang yang mengolok-olok islam dengan membuat video fitna, kita hanya bias berteriak-teriak didepan kedutaan Negara mereka sambil membakar bendera. Hanya itu.
Ini yang coba saya refleksikan dalam catatan perjalanan ini. Saya mencoba menyimpulkan kembali sisa kebesaran peradaban islam yang kini terserak. Dan saya justru menemukan jejak-jejak peninggalan tersebut selama menempuh perjalanan menjadi jelajah Eropa.
Sudah terlalu banyak buku trafeling sebelumnya, terutama tentang Eropa dan segala keindahannya, yang hadir. Bangunan-bangunan, tempt yang wajib dikunjungi berikut tip-tip perjalanan dan cara kreatif untuk berhemat, semua dikemas untuk pembaca. Tapi buat saya sendiri, hakikat sebuah perjalanan bukanlah sekedar menikmati keindahan dari satu tempat ke tempat lain. Bukan sekedar mengagumi dan menemukan tempat-tempat unik disuatu daerah dengan biaya semurah-murahnya.
Menurut saya, makna sebuah perjalanan harus lebih besar daripada itu. Bagaimana perjalanan tersebut harus bias membawa pelakunya naik kederajat yang lebih tinggi, memperluas wawasan sekaligus memperdalam keimanan. Sebagaimana yang dicontohkan oleh perjalanan hijrah nabi Muhammad saw. Dari Mekah ke Madinan umat islam terdahulu adalah”traveler” yang tangguh. Jauh sebelum Vasco de Gama menemukan semenanjung harapan, atau Colombus menemukan benua Amerika, musafir-musafir islam telah menyebrangi 3 samudra hingga Indonesia, berkelana jauh sampai ujung negeri Cina, menembus Himalaya dan padang pasir Gobi. Mereka adalah orang-orang yang tidak pernah ragu untuk meninggalkan rumah, belajar hal-hal baru dari dunia luar sana. Bukankah dalam al-quran juga disebutkn bahwa Allah menciptakan manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar manusia bias saling mengenal, ta’aruf, saling belajar dari bangsa-bangsa lain untuk menaikkan derajat kemuliaan di sisi Allah?
Bagi saya, berada di Eropa selama lebih dari 3 tahun adalah tak ternilai harganya.saya mencoba membuka mata dan hati saya penerima hal-hal baru dan merefleksikanya untuk memperkuat keimanan saya.menelisak hikmah dalam setiap perjalanan, belajar dari pengalaman dan membaca rahasia-rahasia masalalu yang kini hampir tak terlihat lagi di permukaan. Saya tak menyangka Eropa sesungguhnya juga menyimpan sejuta misteri tentang islam.
Catatan perjalanan ini berdasarkan kisah nyata saya  dan Rangga dalam berintaraksi  sosial dan mengusung fakta sejarah yang sebenarnya. Namun,untuk melindungi privasi orang-orang yang terlibat dalam cerita ini,tanpa menghilangkan esensinya.
Perjalanan saya menjelajah Eropa adalah sebuah pencarian 99 cahaya kesempurnaan yang pernah di pancarkan islam di benua in.vienna,Paris,Madrid,Cordoba,Granada, dan Istanbul masuk dalam manives perjalanan saya selama menjelajahi Eropa.
Perjalan ini membuka mata saya bahwa islam dulu pernah menjadi sumber cahaya terang benderang ketika Eropa di liputi abad kegelapan. Islam pernah bersinar sebagai peragaban paling maju didunia, ketika dakwah bias bersatu dengan pengetahuan dan kedamaian, bukan terror atau kekerasan.
Saat memandang matahari tenggelam di Menara Eiffel Paris, Katedral Mezquita Cordoba, Istana Al-Hambra Granada, atau Hagia Sophia Istanbul, saya bersimpuh. Matahari tenggelam yang saya lihat adalah jelas matahari yang sama, yang juga dilihat oleh orang-orang di benua ini 1000 tahun lalu.
Matahari itu menjadi saksi bisu bahwa islam pernah mendamai eropa, menguburkannya dengan menyebar benih-benih ilmu pengetahuan, dan menyianginya dengan kasih saying dan semangat toleransi antar rumah beragama.
Akhir dari perjalanan selama 3 tahun di Eropa justru mengantarkan saya pada pencarian makna dan tujuan hidup. Makin mendekatkan saya pada sumber kebenaran abadi yang maha sempurna.
Saya teringat kata sahabat Ali Ra. :
Wahai anakku! Dunia ini bagaikan samudra tempat banyak ciptaan-ciptaan-Nya yang tenggelam. Maka jelajahilah dunia ini dengan menyebut nama Allah. Jadikan ketakutanmu pada Allah sebagai kapal-kapal yang menyelamatkanmu. Kembangkanlah keimanan sebagai layarmu, logika sebagai pendayuh kapalmu, ilmu pengetahuan sebagai nahkoda perjalanan mu; dan kesabaran sebagai jangkar dalam setiap badai cobaan. (Ali bin Abi Thalib ra.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar