BAB
3
“ Dan niat untuk menunjukkan padamu,
bahwa orang Eropa sejak dulu sangat peduli dengan detail,” tambah Fatma saat
kami akhirnya duduk santai di sebuah kafetaria di seberang Saint Joseph.
Hari itu aku menikmati cantiknya kota
Winadari balik jendela kafe sembari menunggu sepotong roti croissant serta secangkir cappuccino yang kupesan. Hari itu semakin
berkesan karena Fatma secara tak langsung memberiku banyak pengetahuan baru.
“Kalau kau lihat, gereja—gereja di
Eropa dibangun ratusan tahun lalu. Dan bisa kau lihat semuanya sangat indah
karena detail yang rumit disetiap reliefnya. Bahkan mereka membangun gereja
dengan menara setinggi mungkin, padahal gereja sudah dibangun didataran yang
sangat tinggi. Tentu hal seperti ini tidak mudah dilakukan pada zaman dulu.”
Fatma yang tak bersekolah tinggi ini
ternyata mempunyai kecermatan yang tinggi. Meski muslimah sejati, ternyata dia
tahu banyak model dan tipe gereja di Eropa. Termasuk mengapa gereja harus
dibangun dengan gaya khusus.
“Kalau yang memakai menara tinggi disebut
gereja bergaya gothic. Semakin tinggi
menara dibangun, jemaat yang berdoa dalam gereja akan merasa semakin dekat
dengan Tuhan. Karena, Tuhan diasumsikan berada diatas langit.
“…kalau gereja atapnya berbentuk
kubah seperti masjid, disebut bergaya baroque.
Nah, biasanya dalam gereja ini, lukisan-lukisan gambaran malaikat dan
mosaic bersepuh emas lebih dominan karena…”
“Psst..psst, Fatma…diamlah
sebentar…,” kataku sambil meletakkan telunjukku diujung bibir.
Ada suara yang tiba-tiba mengusikku.
Suara cekikikan tamu kafe yang duduk dimeja dibalik tembok. Tembok kafe setebal
kira-kira 15cm itu memisahkan meja kami dengan meja mereka. Aku mengintip tamu
kafe itu sebentar dari balik tembok.
Dari bahasa inggris yang begitu
fasih, aku yakin mereka adalah para turis yang berkunjung di Kahlenberg. Dan
dari kecukupan kemampuanku mendengar percakapan bahasa inggris, aku yakin
mereka sedang bercakap-cakap tentang…
Roti croissant! Roti croissant
yang mereka sedang santap. Dan kata-kata inilah yang membuatku menghentikan
Fatma berbicara: “if you want to ridicule
Muslims, this is how to do it! Kalau kalian mau mengolok-olok Muslim,
begini caranya!”
Aku mengintip turis itu memakan croissant dengan gaya rakus yang
dibuat-buat dari balik tembok. Tak berhenti disana, turis laki-laki itu
meneruskan kalimatnya. Kali ini ia ebih berani berbicara keras. “croissant itu bukan dari Prancis, guys,
tapi dari Austria. Roti untuk merayakan kekalahan Turki di Wina. Kalau bendera
Turki itu berbentuk hati,pasti roti croissant
sekarang berbentuk ‘love’ bukan bult sabit, dan tentu namanya bukan croissant, tetapi I’amour.”
Aku melihat Fatma hanya termangu.
Termangu karena tak tahu mengapa aku menyuruhnya diam. Termangu karena dia tak
paham satupun kata dalam bahasa inggris yang tengah aku dengarkan. Disebelahnya
Ayse justru dengan tenang menyantap butter
croissant keju pilihannya.
“Ada apa, Hanum? Kau tak suka kita
membicarakan gereja?” Fatma akhirnya membuka mulut. Aku tak menjawab
pertanyaannya. Kubisikkan sesuatu setengah terbata-bata dalam bahasa Jerman
kepadanya.
“Kurasa tamu dibalik tembok ini
sedang menjelek-jelekkan islam. Mereka menyebut croissant melambangkan bendera Turki yang bisa dimakan. Kalau makan
croissant artinya memakan islam!
Pokoknya menyebalkan!”
Sejak Fatma terdiam mendengar
bisikanku. Dia mengerutkan alisnya. “Aku punya rencana, Hanum!”
Seketika itu juga aku merasa menyesal
telah memprovokasi Fatma. Siapa yang tak jengkel jika lambing Negara yang dia
cintai di cemooh begitu saja. Dan siapa yang tak tersinggung jika
kepercayaannya dihina oleh orang lain. Aku bisa merasakan kegerahan yang sama.
Para turis tersebut benar-benar keterlaluan. Akankah melabrak para turis
menjadi opsi bagi kami? Memberi mereka peringatan agar tak bicara sembarangan?
Ayo saja, pikirku.
Seketika
itu pula sudah tersiapkan dalam otakku kata-kata yang akan kulontarkan kepada
mereka.
“Aku tak
perlu tahu dulu, berapa orang yang ada dibalik tembok itu, Hanum,” kata Fatma.
Aku
mengintip kembali para turis tersebut dari balik tembok. Memastikan berapa
jumlah mereka.”
Aku tak
yakin Fatma,tapi aku bisa berpura-pura ke WC
untuk melihat berapa jumlah mereka.
Aku bergegas menuju WC dan segera kembali ke meja. Kulihat
Fatma tengah menulis coretan di kertas.
“ Tiga
orang laki-laki dan 1 perempuan. Seumuran dengan kita, kurasa. Kita habiskan
dulu minuman dan makanan ini, kita bayar, lalu kita peringatkan mereka
baik-baik, Fatma!”
“Apasih
yang mereka makan? Croissant saja?”
Tanya Fatma ragu. Pertanyaan yang aneh, menurutku.
“Ya, dan 3
bir, sepertinya,” jawabku pendek.
Kuseruput
habis cappuccino Italiano-ku. Begitu juga Fatma. Dia segera menghabiskan green tea-nya, lalu memanggil pelayan
perempuan yang siap sedia menerima panggilan pesanan maupun pembayaran dari
pelanggan.
“Aku
membayar untuk semua. Termasuk untuk meja dibelakang kami,” kata Fatma pada
pelayan perempuan itu sambil mengerdipkan matanya padaku.
“Aku yakin
tagihan mereka tak lebih dari 15 euro. Kalau sisa, itu untuk tipmu. Kalau
kurang, suruh mereka bayar kekurangannya saja. Oh ya, berikan pesan ini untuk
mereka kalau kami sudah pergi,” ujar Fatma lagi sambil menyerahkan kertas.
Pelayan itu mendengarkan baik-baik permintan Fatma.
Aku
tercekat. Terdiam. Terpana. Mulutku terkunci rapat-rapat.
Ada udara
tertahan diujung mulut. Berganti termangu memandangi Fatma yang sibuk
memakaikan jaket untuk Ayse. Aku seperti orang linglung. Seperti dibodoh oleh
kelakuan Fatma. Kata-kata bahasa inggris yang sudah kupersiapkan didalam kepala
tiba-tiba buyar entah kemana. Padahal, jika saja aku jadi “menyergap” para
turis tersebut, kejadian itu akan jadi peristiwa pertama aku marah-marah dalam
bahasa asing dalam hidupku.
Jadi inikah rencana Fatma? Cara membalas
dendam apa ini? Aku perlu waktu beberapa menit untuk tersadar akan sikap
Fatma, hingga dia menarikku keluar kafe.
Masih
mencoba mengumpulkan kesadaranku, Fatma mengajakku kembali ke pinggir pagar
Bukit Kahlenberg. Aku tak tahu apa yang
ingin dipamerkannya di malam gelap gulita. Semua sudah terlalu kelam untuk
ditembus oleh sepasang mata manusia. Kenapa
kita tidak segeramenuju bus pulang saja, menghindari para turis yang akan
menuntut penjelasan dari kita? Batinku.
“Kau tahu
kenapa aku mengajakmu kesini, Hanum?”Tanya Fatma tiba-tiba. “Karena kita
sama-sama muslimah , Hanum,” seru Fatma lantang menjawab pertanyaan yang
diajukannya sendiri. Wajahnya menengadah menghirup udara alam dalam-dalam.
“Aku perlu
memberitahumu sedikit sejarah, Hanum. Turki negaraku, pernh hampirmenguasai
Eropa Barat. Sekitar 300 tahun lalu, Pasukan Turki yang sudah mengepung kota
Wina akhirnya dipukul mundur oleh gabungan Jerman dan Polandia dari atas bukit
ini. Islam Ottoman Turki kemudian kalah terdesak ke arah timur. Jadi, bisa saja
turis itu benar. Roti croissant memang
symbol kekalahan Turki saat itu.”
Aku terpaku.
Melongo kali ini. Inikah maksud Fatma mengajakku ke Kahlenberg? Dia tak hanya
bermaksud memamerkan kecantikan Wina, tapi juga menceritakan sebuah fragmen
sejarah panjang islam di Eropa.
Kau harus
tahu, karena kita sama-sama muslimah, Hanum, begitu kata Fatma mengulang
kata-katanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar