Rabu, 02 Desember 2015

Bagian 3 "99 Cahaya di Langit Eropa" (resume)



BAB 3
           “ Dan niat untuk menunjukkan padamu, bahwa orang Eropa sejak dulu sangat peduli dengan detail,” tambah Fatma saat kami akhirnya duduk santai di sebuah kafetaria di seberang Saint Joseph.
           Hari itu aku menikmati cantiknya kota Winadari balik jendela kafe sembari menunggu sepotong roti croissant serta secangkir cappuccino yang kupesan. Hari itu semakin berkesan karena Fatma secara tak langsung memberiku banyak pengetahuan baru.
           “Kalau kau lihat, gereja—gereja di Eropa dibangun ratusan tahun lalu. Dan bisa kau lihat semuanya sangat indah karena detail yang rumit disetiap reliefnya. Bahkan mereka membangun gereja dengan menara setinggi mungkin, padahal gereja sudah dibangun didataran yang sangat tinggi. Tentu hal seperti ini tidak mudah dilakukan pada zaman dulu.”
           Fatma yang tak bersekolah tinggi ini ternyata mempunyai kecermatan yang tinggi. Meski muslimah sejati, ternyata dia tahu banyak model dan tipe gereja di Eropa. Termasuk mengapa gereja harus dibangun dengan gaya khusus.
           “Kalau yang memakai menara tinggi disebut gereja bergaya gothic. Semakin tinggi menara dibangun, jemaat yang berdoa dalam gereja akan merasa semakin dekat dengan Tuhan. Karena, Tuhan diasumsikan berada diatas langit.
           “…kalau gereja atapnya berbentuk kubah seperti masjid, disebut bergaya baroque. Nah, biasanya dalam gereja ini, lukisan-lukisan gambaran malaikat dan mosaic bersepuh emas lebih dominan karena…”
           “Psst..psst, Fatma…diamlah sebentar…,” kataku sambil meletakkan telunjukku diujung bibir.
           Ada suara yang tiba-tiba mengusikku. Suara cekikikan tamu kafe yang duduk dimeja dibalik tembok. Tembok kafe setebal kira-kira 15cm itu memisahkan meja kami dengan meja mereka. Aku mengintip tamu kafe itu sebentar dari balik tembok.
           Dari bahasa inggris yang begitu fasih, aku yakin mereka adalah para turis yang berkunjung di Kahlenberg. Dan dari kecukupan kemampuanku mendengar percakapan bahasa inggris, aku yakin mereka sedang bercakap-cakap tentang…
           Roti croissant! Roti croissant yang mereka sedang santap. Dan kata-kata inilah yang membuatku menghentikan Fatma berbicara: “if you want to ridicule Muslims, this is how to do it! Kalau kalian mau mengolok-olok Muslim, begini caranya!”
           Aku mengintip turis itu memakan croissant dengan gaya rakus yang dibuat-buat dari balik tembok. Tak berhenti disana, turis laki-laki itu meneruskan kalimatnya. Kali ini ia ebih berani berbicara keras. “croissant itu bukan dari Prancis, guys, tapi dari Austria. Roti untuk merayakan kekalahan Turki di Wina. Kalau bendera Turki itu berbentuk hati,pasti roti croissant sekarang berbentuk ‘love’ bukan bult sabit, dan tentu namanya bukan croissant, tetapi I’amour.”
           Aku melihat Fatma hanya termangu. Termangu karena tak tahu mengapa aku menyuruhnya diam. Termangu karena dia tak paham satupun kata dalam bahasa inggris yang tengah aku dengarkan. Disebelahnya Ayse justru dengan tenang menyantap butter croissant keju pilihannya.
           “Ada apa, Hanum? Kau tak suka kita membicarakan gereja?” Fatma akhirnya membuka mulut. Aku tak menjawab pertanyaannya. Kubisikkan sesuatu setengah terbata-bata dalam bahasa Jerman kepadanya.
           “Kurasa tamu dibalik tembok ini sedang menjelek-jelekkan islam. Mereka menyebut croissant melambangkan bendera Turki yang bisa dimakan. Kalau makan croissant artinya memakan islam! Pokoknya menyebalkan!”
           Sejak Fatma terdiam mendengar bisikanku. Dia mengerutkan alisnya. “Aku punya rencana, Hanum!”
           Seketika itu juga aku merasa menyesal telah memprovokasi Fatma. Siapa yang tak jengkel jika lambing Negara yang dia cintai di cemooh begitu saja. Dan siapa yang tak tersinggung jika kepercayaannya dihina oleh orang lain. Aku bisa merasakan kegerahan yang sama. Para turis tersebut benar-benar keterlaluan. Akankah melabrak para turis menjadi opsi bagi kami? Memberi mereka peringatan agar tak bicara sembarangan? Ayo saja, pikirku.
            Seketika itu pula sudah tersiapkan dalam otakku kata-kata yang akan kulontarkan kepada mereka.
            “Aku tak perlu tahu dulu, berapa orang yang ada dibalik tembok itu, Hanum,” kata Fatma.
            Aku mengintip kembali para turis tersebut dari balik tembok. Memastikan berapa jumlah mereka.”
            Aku tak yakin Fatma,tapi aku bisa berpura-pura ke WC  untuk melihat berapa jumlah mereka.           
Aku bergegas menuju WC dan segera kembali ke meja. Kulihat Fatma tengah menulis coretan di kertas.
            “ Tiga orang laki-laki dan 1 perempuan. Seumuran dengan kita, kurasa. Kita habiskan dulu minuman dan makanan ini, kita bayar, lalu kita peringatkan mereka baik-baik, Fatma!”
            “Apasih yang mereka makan? Croissant saja?” Tanya Fatma ragu. Pertanyaan yang aneh, menurutku.
            “Ya, dan 3 bir, sepertinya,” jawabku pendek.
            Kuseruput habis cappuccino Italiano-ku. Begitu juga Fatma. Dia segera menghabiskan green tea-nya, lalu memanggil pelayan perempuan yang siap sedia menerima panggilan pesanan maupun pembayaran dari pelanggan.
            “Aku membayar untuk semua. Termasuk untuk meja dibelakang kami,” kata Fatma pada pelayan perempuan itu sambil mengerdipkan matanya padaku.
            “Aku yakin tagihan mereka tak lebih dari 15 euro. Kalau sisa, itu untuk tipmu. Kalau kurang, suruh mereka bayar kekurangannya saja. Oh ya, berikan pesan ini untuk mereka kalau kami sudah pergi,” ujar Fatma lagi sambil menyerahkan kertas. Pelayan itu mendengarkan baik-baik permintan Fatma.
            Aku tercekat. Terdiam. Terpana. Mulutku terkunci rapat-rapat.
            Ada udara tertahan diujung mulut. Berganti termangu memandangi Fatma yang sibuk memakaikan jaket untuk Ayse. Aku seperti orang linglung. Seperti dibodoh oleh kelakuan Fatma. Kata-kata bahasa inggris yang sudah kupersiapkan didalam kepala tiba-tiba buyar entah kemana. Padahal, jika saja aku jadi “menyergap” para turis tersebut, kejadian itu akan jadi peristiwa pertama aku marah-marah dalam bahasa asing dalam hidupku.
            Jadi inikah rencana Fatma? Cara membalas dendam apa ini? Aku perlu waktu beberapa menit untuk tersadar akan sikap Fatma, hingga dia menarikku keluar kafe.
            Masih mencoba mengumpulkan kesadaranku, Fatma mengajakku kembali ke pinggir pagar Bukit Kahlenberg. Aku tak tahu apa yang ingin dipamerkannya di malam gelap gulita. Semua sudah terlalu kelam untuk ditembus oleh sepasang mata manusia. Kenapa kita tidak segeramenuju bus pulang saja, menghindari para turis yang akan menuntut penjelasan dari kita? Batinku.
            “Kau tahu kenapa aku mengajakmu kesini, Hanum?”Tanya Fatma tiba-tiba. “Karena kita sama-sama muslimah , Hanum,” seru Fatma lantang menjawab pertanyaan yang diajukannya sendiri. Wajahnya menengadah menghirup udara alam dalam-dalam.
            “Aku perlu memberitahumu sedikit sejarah, Hanum. Turki negaraku, pernh hampirmenguasai Eropa Barat. Sekitar 300 tahun lalu, Pasukan Turki yang sudah mengepung kota Wina akhirnya dipukul mundur oleh gabungan Jerman dan Polandia dari atas bukit ini. Islam Ottoman Turki kemudian kalah terdesak ke arah timur. Jadi, bisa saja turis itu benar. Roti croissant memang symbol  kekalahan Turki saat itu.”
            Aku terpaku. Melongo kali ini. Inikah maksud Fatma mengajakku ke Kahlenberg? Dia tak hanya bermaksud memamerkan kecantikan Wina, tapi juga menceritakan sebuah fragmen sejarah panjang islam di Eropa.
            Kau harus tahu, karena kita sama-sama muslimah, Hanum, begitu kata Fatma mengulang kata-katanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar