Identitas Buku
ISBN : 9789792272741
Penulis : Hanum Salsabiela Rais
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit : 2011
Jumlah Halaman : Halaman
Bahasa : Indonesia
Cover : Soft Cover
Dimensi : 20 x 13,5cm
Tipe & Kondisi : Baru
BERAT : 0.30 Kg
HARGA : Rp. 57,760
Tentang Penulis
Hanum Salsabiela
Rais, adalah putri Amien Rais, lahir dan menempuh pendidikan dasar Muhammadiyah
di Yogyakarta hingga mendapat gelar Dokter Gigi dari FKG UGM. Mengawali karir
menjadi jurnalis dan presenter di TRANS TV. Hanum memulai petualangannya di
Eropa selama tinggal di Austria bersama suaminya Rangga Almahendra dan beke rja
untuk proyek video podcast Executive Academy di WU Vienna selama 2
tahun. Ia juga tercatat sebagai koresponden detik.com bagi kawasan Eropa dan
sekitarnya.
Tahun 2010, Hanum
menerbitkan buku pertamanya, Menapak Jejak Amien Rais: Persembahan Seorang
Putri untuk Ayah Tercinta. Sebuah novel biografi tentang kepemimpinan,
keluarga dan mutiara hidup.
Rangga Almahendra,
suami Hanum Salsabiela Rais, teman perjalanan sekaligus penulis kedua buku ini.
Menamatkan pendidikan dasar hingga menengah di Yogyakarta, berkuliah di
Institut Teknologi Bandung, kemudian S2 di Universitas Gadjah Mada, keduanya
lulus cumlaude.
Memenangi beasiswa
dari Pemerintah Austria untuk studi S3 di WU Vienna, Rangga berkesempatan
berpetualang bersama sang istri menjelajah Eropa. Pada 2010 ia menyelesaikan
studinya dan meraih gelar doktor di bidang International Business &
Management.
Saat ini ia tercatat
sebagai dosen di Johannes Kepler University dan Universitas Gadjah Mada. Rangga
sebelumnya pernah bekerja di PT Astra Honda Motor dan ABN AMRO Jakarta.
Sinopsis Cerita :
Hanum
menyusul suaminya ke Wina, Austria yang mendapat beasiswa studi doktoral.
Kemampuan bahasa Jerman yang minim membuat Hanum menjalani kursus bahasa
Jerman. Selama kursus itulah Hanum berkenalan dengan Fatma, wanita asal Turki
yang berhasil menggugah jiwa kelana Hanum untuk menyusuri jejak Islam di Eropa.
Fatma yang notabene hanya seorang ibu rumah tangga ternyata memiliki wawasan luas tentang sejarah Islam di Eropa. Bukan hanya itu, kebesaran hati seorang Fatma yang menerima cerca dari kalangan non muslim menyadarkan Hanum, bahwa Islam seharusnya dimaknai luar dan dalam. Bukan sekedar casing yang Islam, namun jiwa dan pikiran kaum bar-bar.
Fatma yang notabene hanya seorang ibu rumah tangga ternyata memiliki wawasan luas tentang sejarah Islam di Eropa. Bukan hanya itu, kebesaran hati seorang Fatma yang menerima cerca dari kalangan non muslim menyadarkan Hanum, bahwa Islam seharusnya dimaknai luar dan dalam. Bukan sekedar casing yang Islam, namun jiwa dan pikiran kaum bar-bar.
Sayangnya Fatma tiba-tiba menghilang setelah mereka mengikat janji akan berkelana bersama menapaki jejak Islam yang ada di Spanyol, Perancis, dan Turki yang pernah berjaya pada masanya. Demi memenuhi janji itu Hanum kemudian mulai menjelajah sendiri bersama suami.
Paris the Light of City, kota yang paling terang cahayanya di Eropa. Kota yang menjadi pusat peradaban paling maju di Eropa. Kota yang pertama kali Hanum kunjungi untuk mengendus keberadaan Islam pada jaman dulu.
Hanum sungguh tercengang ketika mengunjungi Museum Louvre, museum dengan koleksi paling lengkap di dunia, museum yang menyimpan lukisan Monalisa yang terkenal itu. Bagi Hanum, Monalisa dengan senyum misterius kalah menarik dengan lukisan Bunda Maria yang ujung kain kerudungnya terdapat tulisan kalimat tauhid atau piring-piring hias bertulis Arab Kufic.
Marion Latimer seorang pemandu yang baik, seorang Perancis yang memeluk Islam. Seorang peneliti di Arab Institut Paris berhasil menjawab rasa penasaran Hanum akan berbagai hal dalam museum yang mengandung nafas Islam, termasuk makna tulisan pada hijab Maria dan arti kata pada piring-piring bertuliskan Arab Kufic.
Bukan hanya itu, Marion juga menunjuki sebuah kenyataan yang tak bisa dipungkiri bahwa bangunan pada masa Napoleon Bonaparte berkuasa mulai dari La Defense, Arc du Triomphe de I’etoile, Champ Elyses, Obelisk, Arc du Triomphe du Carrousel, Louvre jika ditarik garis lurus imajiner akan menembus langsung ke arah Ka’bah. Timbul sebuah praduga, mungkinkah Napoleon Bonaparte seorang muslim?
Cordoba di Spanyol merupakan kunjungan kedua Hanum untuk melihat Mezquita. Sebuah masjid yang beralih fungsi menjadi gereja dengan nama The Mosque Cathedral. Siapa sangka Cordoba dulu adalah kota seribu cahaya. Kota yang menginspirasi banyak orang di Eropa. Kota yang menerangi abad kegelapan di Eropa. Kota yang memiliki ilmu pengetahuan dan keharmonisan antar umat beragama pada masanya. Kota yang melahirkan the double truth doctrine dari seorang filsul Ibnu Rushd atau Averroes, dua kebenaran yang tidak terpisahkan antara agama dan ilmu pengetahuan/sains. Sayangnya orang Eropa menjadi trauma karena agama yang mereka anut sebelumnya menyebabkan kegelapan pada masa kekuasaan gereja bersifat mutlak. Sekarang, orang Eropa lebih percaya sains. Seperti ajang balas dendam siapa yang lebih menguasai siapa. Jika dulu agama khususnya Kristen menguasai sains, kini giliran sains yang memberangus agama. Tak heran jika kini mayoritas masyarakat Eropa menganut paham sekuler yang melahirkan golongan ateis.
Belum lengkap rasanya jika ke Spanyol tanpa mengunjungi Granada, Istana Al-Hambra. Tempat terakhir Islam bertahan di Eropa. Sayang, the royal couple, Isabella-Ferdinand yang memiliki kekuasaan besar berhasil membuat Granada jatuh ke tangannya untuk kemudian melakukan pembaptisan masal orang-orang muslim yang menjadi mayoritas masyarakat Granada.
Sebuah email mengejutkan datang dari Fatma membuat Hanum ingin segera mengunjungi imperium Islam terakhir pada masa Dinasti Usmaniyah atau Ottoman di Turki sekaligus menengok kawan lama Fatma Pasha. Ini menjadi perjalanan terakhir Hanum dalam mengarungi samudera peradaban Islam di Eropa.
Pada akhirnya, kata-kata Paulo Coelho dalam buku The Alchemist, ‘Pergilah untuk kembali, mengembaralah untuk menemukan jalan pulang. Sejauh apa pun kakimu melangkah, engkau pasti akan kembali ke titik awal.’ Membawa Hanum menjejak ke titik awal dari sebuah perjalanan panjang Islam di sebuah kota Mekah di satu titik pusat Ka’bah. Di mana kalimat tauhid masih bergema dari jutaan manusia pencari cahaya.
Kelebihan
:
Buku
ini ditulis dengan bahasa yang begitu lancar mengalir dan mudah dipahami. Meskipun
ditulis dengan gaya novel, tetap tak mengurangi esensinya sebagai buku yang
sarat akan ilmu dan pengetahuan agama. Membaca buku 99 Cahaya di Eropa, serasa
ikut mengembara langsung ke Eropa dan sekaligus belajar sejarah Islam di Eropa
yang begitu membanggakan dan mengharukan. Mengajak kita untuk mengamalkan Islam
secara total melalui perilaku yang mencerminkan Islam, lewat contoh tokoh yang
bernama Fatma.
Kelemahan :
Pemotongan
sub bab dalam buku terkesan dipaksakan. Ketika telah sampai pada akhir sub bab,
tiba-tiba kita masuk kembali pada rangkaian cerita sebelumnya yang terputus. Bagian
awal epilog yang kurang memberikan kesan. Setelah dibaca beberapa kali,
bercak-bercak hitam bermunculan pada pinggiran kertas buku ini.
Saran :
Pemotongan
sub bab agar diperhatikan sehingga tidak membuat pembaca terjebak pada akhir
kalimat menggantung, namun kemudian kalimat berlanjut pada sub bab berikutnya.
Pada bagian Epilog, akan terasa lebih berkesan jika epilog langsung masuk
ke sub bab Ka’bah, the cube tanpa embel-embel cerita lain, meski bagian
tersebut merupakan penjelas mengapa penulis ingin berhaji.
Kesimpulan :
Kehancuran
Islam di Eropa adalah karena setitik nila perang saling menguasai yang
menyebabkan trauma berkepanjangan. Jika proses masuknya Islam terus konsisten
melalui cara damai seperti di Indonesia tentulah, Eropa hingga kini masih
bercahaya sebagaimana Cordoba berhasil menerangi abad gelap di Eropa.
Kini minoritas Islam di Eropa harus berjuang untuk mengembalikan citra Islam yang keras menjadi lembut, seperti Fatma yang tetap santun meski mendengar hujatan dari orang-orang Eropa non muslim. Itulah sejatinya Islam, agama yang cinta damai.
Sayang, selalu dan masih saja ada yang memaknai Islam harus ditegakkan dengan jalan yang keras, menebar teror melalui hembusan jihad, atau demo yang berujung anarkhis seperti di Indonesia.
Kini minoritas Islam di Eropa harus berjuang untuk mengembalikan citra Islam yang keras menjadi lembut, seperti Fatma yang tetap santun meski mendengar hujatan dari orang-orang Eropa non muslim. Itulah sejatinya Islam, agama yang cinta damai.
Sayang, selalu dan masih saja ada yang memaknai Islam harus ditegakkan dengan jalan yang keras, menebar teror melalui hembusan jihad, atau demo yang berujung anarkhis seperti di Indonesia.
Sudah
saatnya umat Islam belajar dari kegagalan Islam berjaya di Eropa. Nafsu untuk
menjadi lebih, nafsu untuk menguasai, dan nafsu merasa paling benar atas nama
agama hanya akan memperburuk citra Islam di mata dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar