Dapat diduga bahwa seara umum,
kecemasan matematika disebabkan oleh dua faktor utama yaitu faktor intern dan
faktor ekstern. Faktor intern berhubungan dengan tingkat intelegensi, disiplin
belajar atau disiplin diri, dan persepsi siswa terhadap matematika. Faktor
ekstrern bisa berasal dari guru atau masyarakat atau lingkungan dan kebijakan
sekolah.
Beberapa hal yang secara teoritis diduga sebagai
faktor penyebab timbulnya kecemasan matematika dijelaskan sebagai berikut:
1.
Sifat matematika yang abstrak.
Berbeda dengan ilmu pengetahuan
lain, matematika tidak mempelajari objek-objek yang secara langsung dapat
ditangkap oleh indera manusia. Substansi matematika adalah benda-benda pikir
yang bersifat abstrak. Walaupun pada awalnya matematika lahir dari hasil
pengamatan empiris terhadap benda-benda konkret (geometri), namun dalam
perkembangannya matematika lebih memasuki dunianya yang abstrak.
2.
Belajar matematika lebih mengandalkan
penalaran dan logika daripada sekedar pengamatan indra
Objek kajian matematika adalah
fakta, konsep, operasi dan prinsip yang kesemuanya itu berperan dalam membentuk
proses berpikir matematis, dengan salah satu cirinya adalah adanya alur
penalaran yang logis. Jika dibandingkan dengan mata pelajaran lain, matematika
relatif dianggap lebih sulit, karena dibutuhkan kemampuan berpikir tinggi dalam
mempelajarinya.
3.
Persepsi siswa dan persepsi masyarakat
bahwa matematika itu sulit
Persepsi umum bahwa matematika itu
ilmu paling sulit, telah mengkooptasi pikiran sebagian anak. Siswa yang sedang
belajar matematika ikut menilai bahwa matematika itu sulit. Karena lebih dahulu
menganggap sulit, maka siswa mengalami apa yang disebut menyerah sebelum
mencoba.
Pandangan bahwa matematika
merupakan ilmu yang kering, abstrak, teoritis, banyak rumus yang sulit dan
membingungkan, yang didasarkan atas pengalaman kurang menyenangkan ketika
belajar matematika di sekolah, telah membangun persepsi negatif pada diri
siswa. Hal ini telah membangun rasa takut dan memicu sikap menghindar dari
matematika.
Jika siswa memiliki persepsi yang
positif terhadap matematika maka kemungkinan tingkat kecemasannya kecil.
Sebaliknya jika siswa menganggap matematika terlalu sulit, maka ia akan takut
dan cemas pada matematika.
4.
Tingkat inteligensi siswa
Siswa dengan tingkat inteligensi
bagus akan mudah memahami materi matematika atau mudah mengerjakan sesuatu yang
berhubungan dengan matematika. Siswa seperti ini cenderung tidak cemas terhadap
matematika.
Sebaliknya, jika tingkat
inteligensi siswa rendah, maka ada kemungkinan ia sulit memahami materi
matematika dan sulit melakukan sesuatu yang berhubungan dengan matematika.
Siswa seperti ini akan cemas dengan matematika.
5.
Disiplin belajar atau disiplin diri
Jika
siswa disiplin dalam belajar, maka ia akan melakukan belajar secara kontinu dan
teratur. Kebiasaan ini membuat siswa mudah menguasai materi matematika dan ia
tidak akan terlalu cemas.
6.
Kekeliruan metode pembelajaran dan sikap
guru
Ada fenomena umum bahwa
pembelajaran matematika didominasi oleh guru. Guru menjelaskan materi pelajaran
dan membahas contoh soal. Kemudian memberikan soal latihan kepada siswa.
Pembelajaran seperti ini tentu kurang bermakna, dan membuat siswa cenderung
mengikuti contoh saja. Siswa menjadi manja dan pikirannya tidak berkembang,
siswa tidak mendapat kesempatan mengeksplorasi dan mengekspresikan
kemampuannya. Jika menemukan soal yang lebih sulit, maka siswa merasa tertekan.
Pembelajaran matematika tidak menjadi kesempatan untuk melatih olah pikir,
melainkan matematika dipahami dengan cara menghafal. Kadang-kadang jika siswa
tidak mampu mengerjakan soal, maka guru marah dan memberikan punishment kepada
siswa. Tindakan ini justru menambah ketakutan siswa terhadap matematika. Siswa
akan cemas untuk mengikuti pembelajaran matematika selanjutnya.
Secara psikologis, desain
pembelajaran sebenarnya merupakan bentuk intervensi terencana. Intervensi ini
bertujuan positif, yakni upaya mengubah perilaku, pikiran, atau perasaan siswa
dalam belajar. Dalam belajar, terjadi interaksi sosial dua arah atau multi
arah, sehingga pembelajaran selaku intervensi berfungsi sebagai support,
karena merupakan suatu kegiatan yang dilakukan untuk mengubah perilaku atau
keadaan sosial dengan sengaja menuju tujuan yang dikehendaki. Guru mendesain
inervensi secara professional, namun kadang-kadang guru tidak dapat
melepaskan diri dari ego sebagai manusia, yang bisa menuntun dia untuk
bertindak sesuai kehendaknya.
7.
Tuntutan untuk mendapatkan nilai yang
baik
Tuntutan untuk mendapatkan nilai
yang baik adalah kebiasaan umum bahwa guru dan orang tua menghendaki siswa
memperoleh prestasi belajar yang baik. Jika siswa mendapat nilai rendah, ia
dimarahi atau diolok. Ini mengakibatkan siswa merasa tertekan dan menganggap
dirinya bodoh. Tanpa disadari, hal ini menjadi beban atas diri siswa. Siswa
akan cenderung berorientasi pada hasil atau nilai yang tinggi dalam matematika,
dengan tujuan asal bapak senang, terhindar dari hukuman dan olokan. Siswa
mengabaikan proses belajar.
Dalam hal ini siswa bisa saja
mengandalkan segala cara untuk memperoleh nilai, misalnya dengan menyontek,
mengutip pekerjaan teman, tidak peduli apakah pekerjaan tersebut benar atau
salah. Siswa mengalami paranoi yakni siswa berpikir bahwa semua orang tahu
jawaban dari soal matematika kecuali dirinya.
Meskipun nilai yang diperoleh baik,
tapi pengetahuan yang dikuasainya sangat minim, karena secara konseptual memang
sebenarnya anak tidak belajar, tidak paham materi yang dipelajari.
Syah (2012:184-185) menjelaskan
adanya faktor-faktor yang mempengaruhi kesulitan belajar yang dapat menimbulkan
kecemasan, yaitu:
a.
Faktor Internal Siswa
Faktor internal meliputi gangguan
atau ketidakmampuan psiko-fisik siswa yang dapat bersifat kognitif (rendahnya
intelektual/ inteligensi siswa), afektif (labilnya emosi dan sikap), dan
psikomotor (terganggunya alat indera siswa).
b.
Faktor Eksternal
Faktor eksternal meliputi semua
situasi dan kondisi lingkungan sekitar siswa (lingkungan keluarga, masyarakat,
dan sekolah);
c.
Kejenuhan Belajar
Kejenuhan
belajar yaitu rentang waktu tertentu yang digunakan untuk belajar, tetapi tidak
mendatangkan hasil (Reber dalam Syah, 2012).
d.
Kelelahan
Kelelahan dapat menjadi faktor pemicu
kecemasan matematika karena siswa tidak dapat melanjutkan proses belajarnya
yang sudah pada batas kemampuan jasmaniahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar