Rabu, 02 Desember 2015

Faktor-Faktor yang Menimbulkan Kecemasan Siswa dalam Belajar Matematika



Dapat diduga bahwa seara umum, kecemasan matematika disebabkan oleh dua faktor utama yaitu faktor intern dan faktor ekstern. Faktor intern berhubungan dengan tingkat intelegensi, disiplin belajar atau disiplin diri, dan persepsi siswa terhadap matematika. Faktor ekstrern bisa berasal dari guru atau masyarakat atau lingkungan dan kebijakan sekolah.

Beberapa hal yang secara teoritis diduga sebagai faktor penyebab timbulnya kecemasan matematika dijelaskan sebagai berikut:
1.      Sifat matematika yang abstrak.
Berbeda dengan ilmu pengetahuan lain, matematika tidak mempelajari objek-objek yang secara langsung dapat ditangkap oleh indera manusia. Substansi matematika adalah benda-benda pikir yang bersifat abstrak. Walaupun pada awalnya matematika lahir dari hasil pengamatan empiris terhadap benda-benda konkret (geometri), namun dalam perkembangannya matematika lebih memasuki dunianya yang abstrak.
2.      Belajar matematika lebih mengandalkan penalaran dan logika daripada sekedar pengamatan indra
Objek kajian matematika adalah fakta, konsep, operasi dan prinsip yang kesemuanya itu berperan dalam membentuk proses berpikir matematis, dengan salah satu cirinya adalah adanya alur penalaran yang logis. Jika dibandingkan dengan mata pelajaran lain, matematika relatif dianggap lebih sulit, karena dibutuhkan kemampuan berpikir tinggi dalam mempelajarinya.
3.      Persepsi siswa dan persepsi masyarakat bahwa matematika itu sulit
Persepsi umum bahwa matematika itu ilmu paling sulit, telah mengkooptasi pikiran sebagian anak. Siswa yang sedang belajar matematika ikut menilai bahwa matematika itu sulit. Karena lebih dahulu menganggap sulit, maka siswa mengalami apa yang disebut menyerah sebelum mencoba.
Pandangan bahwa matematika merupakan ilmu yang kering, abstrak, teoritis, banyak rumus yang sulit dan membingungkan, yang didasarkan atas pengalaman kurang menyenangkan ketika belajar matematika di sekolah, telah membangun persepsi negatif pada diri siswa. Hal ini telah membangun rasa takut dan memicu sikap menghindar dari matematika.
Jika siswa memiliki persepsi yang positif terhadap matematika maka kemungkinan tingkat kecemasannya kecil. Sebaliknya jika siswa menganggap matematika terlalu sulit, maka ia akan takut dan cemas pada matematika.
4.      Tingkat inteligensi siswa
Siswa dengan tingkat inteligensi bagus akan mudah memahami materi matematika atau mudah mengerjakan sesuatu yang berhubungan dengan matematika. Siswa seperti ini cenderung tidak cemas terhadap matematika.
Sebaliknya, jika tingkat inteligensi siswa rendah, maka ada kemungkinan ia sulit memahami materi matematika dan sulit melakukan sesuatu yang berhubungan dengan matematika. Siswa seperti ini akan cemas dengan matematika.
5.      Disiplin belajar atau disiplin diri
            Jika siswa disiplin dalam belajar, maka ia akan melakukan belajar secara kontinu dan teratur. Kebiasaan ini membuat siswa mudah menguasai materi matematika dan ia tidak akan terlalu cemas.
6.      Kekeliruan metode pembelajaran dan sikap guru
Ada fenomena umum bahwa pembelajaran matematika didominasi oleh guru. Guru menjelaskan materi pelajaran dan membahas contoh soal. Kemudian memberikan soal latihan kepada siswa. Pembelajaran seperti ini tentu kurang bermakna, dan membuat siswa cenderung mengikuti contoh saja. Siswa menjadi manja dan pikirannya tidak berkembang, siswa tidak mendapat kesempatan mengeksplorasi dan mengekspresikan kemampuannya. Jika menemukan soal yang lebih sulit, maka siswa merasa tertekan. Pembelajaran matematika tidak menjadi kesempatan untuk melatih olah pikir, melainkan matematika dipahami dengan cara menghafal. Kadang-kadang jika siswa tidak mampu mengerjakan soal, maka guru marah dan memberikan punishment kepada siswa. Tindakan ini justru menambah ketakutan siswa terhadap matematika. Siswa akan cemas untuk mengikuti pembelajaran matematika selanjutnya.
Secara psikologis, desain pembelajaran sebenarnya merupakan bentuk intervensi terencana. Intervensi ini bertujuan positif, yakni upaya mengubah perilaku, pikiran, atau perasaan siswa dalam belajar. Dalam belajar, terjadi interaksi sosial dua arah atau multi arah, sehingga pembelajaran selaku intervensi berfungsi sebagai support, karena merupakan suatu kegiatan yang dilakukan untuk mengubah perilaku atau keadaan sosial dengan sengaja menuju tujuan yang dikehendaki. Guru mendesain inervensi secara professional, namun kadang-kadang guru tidak dapat melepaskan diri dari ego sebagai manusia, yang bisa menuntun dia untuk bertindak sesuai kehendaknya.
7.      Tuntutan untuk mendapatkan nilai yang baik
Tuntutan untuk mendapatkan nilai yang baik adalah kebiasaan umum bahwa guru dan orang tua menghendaki siswa memperoleh prestasi belajar yang baik. Jika siswa mendapat nilai rendah, ia dimarahi atau diolok. Ini mengakibatkan siswa merasa tertekan dan menganggap dirinya bodoh. Tanpa disadari, hal ini menjadi beban atas diri siswa. Siswa akan cenderung berorientasi pada hasil atau nilai yang tinggi dalam matematika, dengan tujuan asal bapak senang, terhindar dari hukuman dan olokan. Siswa mengabaikan proses belajar. 
Dalam hal ini siswa bisa saja mengandalkan segala cara untuk memperoleh nilai, misalnya dengan menyontek, mengutip pekerjaan teman, tidak peduli apakah pekerjaan tersebut benar atau salah. Siswa mengalami paranoi yakni siswa berpikir bahwa semua orang tahu jawaban dari soal matematika kecuali dirinya. 
Meskipun nilai yang diperoleh baik, tapi pengetahuan yang dikuasainya sangat minim, karena secara konseptual memang sebenarnya anak tidak belajar, tidak paham materi yang dipelajari.
Syah (2012:184-185) menjelaskan adanya faktor-faktor yang mempengaruhi kesulitan belajar yang dapat menimbulkan kecemasan, yaitu:
a.       Faktor Internal Siswa
Faktor internal meliputi gangguan atau ketidakmampuan psiko-fisik siswa yang dapat bersifat kognitif (rendahnya intelektual/ inteligensi siswa), afektif (labilnya emosi dan sikap), dan psikomotor (terganggunya alat indera siswa).
b.      Faktor Eksternal
Faktor eksternal meliputi semua situasi dan kondisi lingkungan sekitar siswa (lingkungan keluarga, masyarakat, dan sekolah);
c.       Kejenuhan Belajar 
Kejenuhan belajar yaitu rentang waktu tertentu yang digunakan untuk belajar, tetapi tidak mendatangkan hasil (Reber dalam Syah, 2012).
d.      Kelelahan
            Kelelahan dapat menjadi faktor pemicu kecemasan matematika karena siswa tidak dapat melanjutkan proses belajarnya yang sudah pada batas kemampuan jasmaniahnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar