A. Pengertian
Hakikat Manusia
Hakikat manusia
adalah peran ataupun fungsi yang harus dijalankan oleh setiap manusia.
Kata manusia berasal dari kata ” manu ” dari bahasa
Sanksekerta atau ” mens ” dari bahasa Latin yang berarti
berpikir, berakal budi, atau bisa juga dikatakan ” homo ”
yang juga berasal dari bahasa Latin.
B. Dimensi
Hakikat Manusia
Seseorang (individu manusia) yang sejak kelahirannya (dan dari
penciptaannya) dibekali dengan hakikat manusia itu, untuk pengembangan diri dan
kehidupan selanjutnya, ia dilengkapi dengan dimensi-dimensi kemanusiaan yang
tidak lain adalah juga cakupan wilayah harkat dan martabat manusia yang melekat
pada diri individu itu. Dimensi hakikat manusia mencakup :
1)
Dimensi Keindividualan
Lysen
mengartikan individu sebagai ”orang seorang” sesuatu yang merupakan suatu
keutuhan yang tidak dapat dibagi-bagi (in devide). Selanjutnya individu diartikan
sebagai pribadi. Karena adanya individualitas itu setiap orang memiliki
kehendak, perasaan, cita-cita, kecendrungan, semangat dan daya tahan yang
berbeda.
Kesanggupan
untuk memikul tanggung jawab sendiri merupakan ciri yang sangat esensial dari
adanya individualitas pada diri manusia. Sifat sifat sebagaimana di gambarkan
di atas secara potensial telah di miliki sejak lahir perlu ditumbuh kembangkan
melalui pendidikan agar bisa menjadi kenyataan. Sebab tanpa di bina,
melalui pendidikan, benih-benih individualitas yang sangat berharga itu yang
memungkinkan terbentuknya suatu kepribadian seseorang tidak akan terbentuk
semestinya sehingga seseorang tidak memiliki warna kepribadian yang khas
sebagai milikinya. Padahal fungsi utama pendidikan adalah membantu peserta
didik untuk membentuk kepripadiannya atau menemukan kediriannya sendiri. Pola
pendidikan yang bersifat demokratis dipandang cocok untuk mendorong bertumbuh
dan berkembangnya potensi individualitas sebagaimana dimaksud. Pola
pendidikan yang menghambat perkembangan individualitas (misalnya yang bersifat
otoriter[1])
dalam hubungan ini disebut pendidikan yang patologis.
2)
Dimensi Kesosialan
Setiap bayi
yang lahir dikaruniai potensi sosialitas demikian dikatakan Mj Langeveld (1955
: 54) dalam buku (Pengantar Pendidikan, Prof. Dr. Tirtaraharja dan Drs. S.L La
Ulo 2005 : 18). Pernyataan tersebut dapat diartikan bahwa setiap anak
dikaruniai benih kemungkinan untuk bergaul. Artinya setiap orang dapat saling
berkomunikasi yang pada hakikatnya di dalamnya ada unsur saling memberi dan
menerima. Adanya dimensi kesosialan pada diri manusia tampak jelas pada
dorongan untuk bergaul. Dengan adanya dorongan untuk bergaul setiap orang ingin
bertemu dengan sesamanya.
Seorang
bayi sudah dapat menyambut atau menerima belaian ibunya dengan rasa senang.
Kemudian sebagai balasan ia dapat memberikan senyuman pada lingkungannya,
khususnya pada ibunya. Kelak jika sudah dewasa, dan menduduki status atau
pekerjaan tertentu, dorongan menerima dan memberi itu berubah menjadi kesadaran
akan hak yang harus diterima dan kewajiban yang harus dilaksanakan untuk
kepentingan pihak lain sebagai realisasi dari memberi.
Manusia
hanya menjadi menusia jika berada diantara manusia. Tidak ada seorangpun yang
dapat hidup seorang diri lengkap dengan sifat hakekat kemanusiaannya di tempat
yang terasing. Sebab seseorang hanya dapat mengembangkan sifat
individualitasnya di dalam pergaulan sosial seseorang dapat mengembangkan
kegemarannya, sikapnya, cita-citanya di dalam interaksi dengan sesamanya.
3)
Dimensi Kesusilaan
Kata kunci kandungan dimensi
kesusilaan adalah nilai dan moral. Dalam dimensi ini digaris bawahi kemampuan
dasar setiap individu untuk memberikan harga atau penghargaaan terhadap
sesuatu, dalam rentang penilaian tertentu. Sesuatu dapat dinilai sangat tinggi
(misalnya dengan diberi label baik), sedang (dengan label cukup), atau rendah
(dengan label kurang). Rentang penilaian itu dapat dipersempit dan dapat pula
diperlebar. Penilaian itu dapat menggunakan angka-angka mengacu pada ukuran
kuantitatif dalam bentuk angka, dapat pula menggunakan ukuran kualitatif[2]
dalam bentuk pernyataan verbal.
Drijarkara
mengartikan manusia susila sebagai manusia yang memiliki nilai-nilai,
menghayati dan melaksanakan nilai-nilai tersebut dalam perbuatan. Nilai-nilai
merupakan sesuatu yang dijunjung tinggi oleh manusia, karena mengandung makna
kebaikan, keluhuran, kemuliaan, dst, sehingga oleh karena itu diyakini dan
dijadikan pedoman dalam hidup. Persoalan
kesusilaan selalu berhubungan erat dengan nilai-nilai. Pada hakikatnya manusia
memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan susila, serta melaksanakannya
sehingga dikatakan manusia itu adalah mahluk susila.
4)
Dimensi Keberagamaan
Kata kunci kandungan dimensi
keberagamaan adalah iman dan takwa. Dalam diemnsi ini terkandung pemahaman
bahwa setiap individu pada dasarnya memiliki kecenderungan dan kemampuan untung
mempercayai adanya Sang Maha Pencipta dan Maha Kuasa serta mematuhi segenap
aturan dan perintah-Nya. Keimanan dan ketakwaan ini dibahas dalam agama yang
dianut oleh individu. Kitab suci agama serta tafsir yang mengiriminya membuat
kaidah-kaidah keimanan dan ketakwaan tersebut. Kajian tentang agama-agama
didunia menambah wawasan berkaitan dengan dipakai dan dipraktikkannya dimensi
keberagamaan didalam kehidupan manusia.
Manusia memerlukan agama demi kesalamatan
hidupnya. Dapat dikatakan
bahwa agama menjadi sandaran vertical manusia. Manusia dapat
menghayati agama melalui proses pendidikan agama. Pendidikan agama bukan
semata-mata pelajaran agama yang hanya memberikan pengetahuan tentang agama,
jadi segi-segi afektif harus di utamakan. Di samping itu mengembangkan
kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan penganut kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa perlu mendapat perhatian.
Agama
merupakan sandaran vertical bagi manusia. Manusia dapat memahami agama melalui
proses pendidikan agama. Ph. Kohnstamm berpendapat bahwa pendidikan agama
seyogyanya menjadi tugas orang tua.Pemerintah dengan berlandaskan pada GBHN
memasukan pendidikan agama kedalam kurikulum di sekolah, mulai dari SD s/d PT.
disini perlu ditekankan bahwa meskipun pengkajian agama melalui pelajaran agama
ditingkatkan, namun tetap harus disadari bahwa tekanannya adalah pendidikan
agama dan bukan semata-mata pelajaran agama yang hanya memberikan pengetahuan
agama. Jadi segi-segi afektif harus di utamakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar