Rabu, 02 Desember 2015

Hakikat Manusia



A.  Pengertian Hakikat Manusia
       Hakikat manusia adalah peran ataupun fungsi yang harus dijalankan oleh setiap manusia.  Kata manusia berasal dari kata ” manu ” dari bahasa Sanksekerta atau ” mens ” dari bahasa Latin yang berarti berpikir, berakal budi, atau bisa juga dikatakan ” homo ” yang juga berasal dari bahasa Latin.

B.  Dimensi Hakikat Manusia
       Seseorang (individu manusia) yang sejak kelahirannya (dan dari penciptaannya) dibekali dengan hakikat manusia itu, untuk pengembangan diri dan kehidupan selanjutnya, ia dilengkapi dengan dimensi-dimensi kemanusiaan yang tidak lain adalah juga cakupan wilayah harkat dan martabat manusia yang melekat pada diri individu itu. Dimensi hakikat manusia mencakup :

1)      Dimensi Keindividualan
Lysen mengartikan individu sebagai ”orang seorang” sesuatu yang merupakan suatu keutuhan yang tidak dapat dibagi-bagi (in devide). Selanjutnya individu diartikan sebagai pribadi. Karena adanya individualitas itu setiap orang memiliki kehendak, perasaan, cita-cita, kecendrungan, semangat dan daya tahan yang berbeda.
Kesanggupan untuk memikul tanggung jawab sendiri merupakan ciri yang sangat esensial dari adanya individualitas pada diri manusia. Sifat sifat sebagaimana di gambarkan di atas secara potensial telah di miliki sejak lahir perlu ditumbuh kembangkan melalui pendidikan agar  bisa menjadi kenyataan. Sebab tanpa di bina, melalui pendidikan, benih-benih individualitas yang sangat berharga itu yang memungkinkan terbentuknya suatu kepribadian seseorang tidak akan terbentuk semestinya sehingga seseorang tidak memiliki warna kepribadian yang khas sebagai milikinya. Padahal fungsi utama pendidikan adalah membantu peserta didik untuk membentuk kepripadiannya atau menemukan kediriannya sendiri. Pola pendidikan yang bersifat demokratis dipandang cocok untuk mendorong bertumbuh dan  berkembangnya potensi individualitas sebagaimana dimaksud. Pola pendidikan yang menghambat perkembangan individualitas (misalnya yang bersifat otoriter[1]) dalam hubungan ini disebut pendidikan yang patologis.

2)      Dimensi Kesosialan
           Setiap bayi yang lahir dikaruniai potensi sosialitas demikian dikatakan Mj Langeveld (1955 : 54) dalam buku (Pengantar Pendidikan, Prof. Dr. Tirtaraharja dan Drs. S.L La Ulo 2005 : 18). Pernyataan tersebut dapat diartikan bahwa setiap anak dikaruniai benih kemungkinan untuk bergaul. Artinya setiap orang dapat saling berkomunikasi yang pada hakikatnya di dalamnya ada unsur saling memberi dan menerima. Adanya dimensi kesosialan pada diri manusia tampak jelas pada dorongan untuk bergaul. Dengan adanya dorongan untuk bergaul setiap orang ingin bertemu dengan sesamanya.
           Seorang bayi sudah dapat menyambut atau menerima belaian ibunya dengan rasa senang. Kemudian sebagai balasan ia dapat memberikan senyuman pada lingkungannya, khususnya pada ibunya. Kelak jika sudah dewasa, dan menduduki status atau pekerjaan tertentu, dorongan menerima dan memberi itu berubah menjadi kesadaran akan hak yang harus diterima dan kewajiban yang harus dilaksanakan untuk kepentingan pihak lain sebagai realisasi dari memberi.
           Manusia hanya menjadi menusia jika berada diantara manusia. Tidak ada seorangpun yang dapat hidup seorang diri lengkap dengan sifat hakekat kemanusiaannya di tempat yang terasing. Sebab seseorang hanya dapat mengembangkan sifat individualitasnya di dalam pergaulan sosial seseorang dapat mengembangkan kegemarannya, sikapnya, cita-citanya di dalam interaksi dengan sesamanya.

3)      Dimensi Kesusilaan
           Kata kunci kandungan dimensi kesusilaan adalah nilai dan moral. Dalam dimensi ini digaris bawahi kemampuan dasar setiap individu untuk memberikan harga atau penghargaaan terhadap sesuatu, dalam rentang penilaian tertentu. Sesuatu dapat dinilai sangat tinggi (misalnya dengan diberi label baik), sedang (dengan label cukup), atau rendah (dengan label kurang). Rentang penilaian itu dapat dipersempit dan dapat pula diperlebar. Penilaian itu dapat menggunakan angka-angka mengacu pada ukuran kuantitatif dalam bentuk angka, dapat pula menggunakan ukuran kualitatif[2] dalam bentuk pernyataan verbal.
           Drijarkara mengartikan manusia susila sebagai manusia yang memiliki nilai-nilai, menghayati dan melaksanakan nilai-nilai tersebut dalam perbuatan. Nilai-nilai merupakan sesuatu yang dijunjung tinggi oleh manusia, karena mengandung makna kebaikan, keluhuran, kemuliaan, dst, sehingga oleh karena itu diyakini dan dijadikan pedoman dalam hidup. Persoalan kesusilaan selalu berhubungan erat dengan nilai-nilai. Pada hakikatnya manusia memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan susila, serta melaksanakannya sehingga dikatakan manusia itu adalah mahluk susila.
4)      Dimensi Keberagamaan
           Kata kunci kandungan dimensi keberagamaan adalah iman dan takwa. Dalam diemnsi ini terkandung pemahaman bahwa setiap individu pada dasarnya memiliki kecenderungan dan kemampuan untung mempercayai adanya Sang Maha Pencipta dan Maha Kuasa serta mematuhi segenap aturan dan perintah-Nya. Keimanan dan ketakwaan ini dibahas dalam agama yang dianut oleh individu. Kitab suci agama serta tafsir yang mengiriminya membuat kaidah-kaidah keimanan dan ketakwaan tersebut. Kajian tentang agama-agama didunia menambah wawasan berkaitan dengan dipakai dan dipraktikkannya dimensi keberagamaan didalam kehidupan manusia.
           Manusia memerlukan agama demi kesalamatan hidupnya. Dapat dikatakan bahwa agama menjadi sandaran vertical manusia. Manusia dapat menghayati agama melalui proses pendidikan agama. Pendidikan agama bukan semata-mata pelajaran agama yang hanya memberikan pengetahuan tentang agama, jadi segi-segi afektif harus di utamakan. Di samping itu mengembangkan kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa perlu mendapat perhatian.
           Agama merupakan sandaran vertical bagi manusia. Manusia dapat memahami agama melalui proses pendidikan agama. Ph. Kohnstamm berpendapat bahwa pendidikan agama seyogyanya menjadi tugas orang tua.Pemerintah dengan berlandaskan pada GBHN memasukan pendidikan agama kedalam kurikulum di sekolah, mulai dari SD s/d PT. disini perlu ditekankan bahwa meskipun pengkajian agama melalui pelajaran agama ditingkatkan, namun tetap harus disadari bahwa tekanannya adalah pendidikan agama dan bukan semata-mata pelajaran agama yang hanya memberikan pengetahuan agama. Jadi segi-segi afektif harus di utamakan.


[1] Otoriter ialah sikap sewenang-wenang keras dan tegas.
[2]Kualitatif ialah sikap yang dilihat berdasarkan proses dari suatu objek penelitian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar